Terdapat banyak versi mengenai sosok ini. Versi pertama, Syaikh Jumadil Kubra adalah salah satu dari empat orang suci yang beragama Islam pada masa kuno, bersama dengan Maulana Ishak di Blambangan, Nyampo di Suku Domas, dan Dada Pethak di Gunung Bromo. Mengenai nama Kubro, Bruinessen menyatakan bahwa nama ini menyalahi aturan tata bahasa Arab. Istilah Arab, kubra, yang berarti besar adalah kata sifat dalam bentuk mu’annats (feminin), bentuk superlatif (ism tafdhil) dari kata kabir. Bentuk kata mudzakar (maskulin) yang sesuai, seharusnya adalah akbar dan aneh jika kubro menjadi nama untuk laki-laki. Oleh karena itu, masih menurut Bruinessen, kubro adalah singkatan nama dari Najumuddin Al-Kubro (Najumudinil Kubro) menjadi Jumadil Kubra (Bruinessen, 2012: 300).

Versi kedua menyatakan bahwa Syaikh Jumadil Kubra adalah nama lain dari Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau dikenal juga dengan sebutan Maulana Maghribi. Ia adalah tokoh penyebar Islam yang tergabung dalam jajaran Walisongo dan dikenal dengan nama Sunan Gresik. Ia adalah tokoh beretnis Arab yang beradal dari Kasyan dan memiliki garis keturunan hingga Rasulullah Saw. Dikisahkan, saat ia pertama kali memasuki tanah Jawa, hampir seluruh penduduk Jawa masih menganut agama Hindu dan kepercayaan lokal (Hasyim, 1992: 13).

Versi ketiga didasarkan pada Kronika Banten dan Babad Tjirebon yang menyatakan bahwa Syaikh Jumadil Kubra adalah tokoh penyebar Islam sekaligus sesepuh para wali tanah Jawa dan karenanya, ia hadir sebelum era Walisongo. Ia diyakini kakek dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) di Cirebon, Jawa Barat melalui putranya Syaikh Ali Nurul Alam yang tinggal di Mesir. Versi lain yang didasarkan pada Kronika Gresik menyebutkan, bahwa Syaikh Jumadil Kubra adalah luluhur dari Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga. Syaikh Jumadil Kubra memiliki hubungan darah dengan Sunan Ampel dan tinggal di Gresik. Sementara, putra dari Syaikh Jumadil Kubra, yakni Maulana Ishaq ditugaskan untuk melakukan Islamisasi ke Blambangan. Maulana Ishaq adalah ayah dari Sunan Giri. Jadi, jika mengikuti versi ini, maka Syaikh Jumadil Kubra adalah kakek dari Sunan Giri (Sunyoto, 2012: 69-70).

Selain versi-versi di atas, terdapat pula versi yang menyatakan bahwa Syaikh Jumadil Kubra adalah pembimbing dari para wali. Hal ini seperti yang ditulis oleh Raffles, yang menyatakan bahwa ketika Raden Rahmat (Sunan Ampel) mula-mula datang ke Jawa dari Campa, ia mengunjungi salah seorang ahli ibadah yang tinggal di Gunung Jali, Gresik yang bernama Syaikh Maulana Jumadil Kubra. Pada pertemuannya itu, Syaikh Maulana Jumadil Kubra menyatakan bahwa kedatangan Raden Rahmat telah diramalkan oleh Nabi Muhammad Saw., bahwa Raden Rahmat dipilih untuk mendakwahkan Islam di pelabuhan timur Pulau Jawa. Ia juga menyatakan dalam ramalan itu, bahwa keruntuhan agama kafir di tanah Jawa tinggal menunggu waktu (Raffles, 2014: 117).

Versi berbeda muncul dalam Babad Tanah Djawi yang menyatakan bahwa Syaikh Jumadil Kubra adalah sepupu Sunan Ampel dan hidup sebagai pertapa di hutan Gresik. Berdasar pada Babad Tanah Djawi pula, disebutkan bahwa Syaikh Jumadil Kubra pernah melakukan pertapaan di Bukit Bergota, Semarang. Mungkin, atas dasar inilah, masyarakat lokal Semarang meyakini, bahwa makam di daerah Tambak di dekat Terboyo adalah Makam Waliyullah Syaikh Jumadil Kubra. Sementara, menurut tradisi komunitas Hadrami menyatakan bahwa Syaikh Jumadil Kubra adalah salah satu leluhur mereka yang melakukan Islamisasi tanah Jawa pada masa awal yang bernama Syaikh Jamaluddin Husain Al-Akbar (Bruinessen, 2002: 299).

Namun, menurut silsilah yang dipasang oleh pengurus di depan makam menyebutkan bahwa Syaikh Jumadil Kubra adalah anak dari Syaikh Jumadil Kabir bin Syaikh Maulana Mahmudinil Kubro. Silsilah ini jika dirunut ke atas akan sampai pada Rasulullah Saw., melalui jalur Fatimah melalui Husain a.s. Sementara, jika dirunut ke bawah, maka Syaikh Jumadil Kubra adalah ayah dari Maulana Ibrahim Asmarakandi (makamnya di Gresik) dan sekaligus kakek dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). 

Berbagai macam versi mengenai sosok Syaikh Jumadil Kubra juga ditandai dengan keberadaan makamnya yang tidak hanya ada di satu tempat. Menurut Sunyoto, makam yang diyakini umum sebagai makam Syaikh Jumadil Kubra adalah makam yang terletak di kompleks makam Tralaya, Mojokerto (Sunyoto, 2014: 70). Namun, pengurus makam Syaikh Jumadil Kubra di Semarang menyatakan bahwa makam yang sebenarnya adalah yang berada di Semarang. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya peziarah yang datang ke makam ini sejak ditemukan dan dibangun pertama kali pada 1995. Kurang lebih 50 bus berziarah setiap hari di makam ini (Wawancara dengan Hamdan, 17 Juni 2019).