Masa Kolonial
Pada awal abad ke-20, kebijakan penjajahan Belanda mengalami perubahan arah kebijakan. Pemerintah kolonial Belanda yang semula melakukan eksploitasi terhadap Indonesia, mulai menaruh perhatian terhadap keprihatinan atas kesejahteraan bangsa Indonesia. Kebijakan tersebut dinamakan dengan “Politik Etis”. Meskipun demikian, dalam realitasnya, kebijakan Politik Etis lebih banyak janji daripada pelaksanaannya (Ricklefs, 2010: 327). Politik Etis memiliki tiga slogan, yaitu irigasi, emigrasi, dan edukasi. Irigasi yaitu membangun dan memperbaiki pengairan untuk pertanian; emigrasi, yaitu mendorong penduduk melakukan transmigrasi; dan edukasi, yaitu memperluas bidang pendidikan dan pengajaran (van Deventer, 1899 dalam Kartodirdjo, 2014: 38-39).
Pada akhir abad ke-19, telah berdiri sekolah-sekolah Eropa dan Politik Etis telah memperluas sekolah-sekolah tersebut. Sekolah-sekolah tersebut didirikan untuk memenuhi kebutuhan pegawai di pemerintahan Hindia-Belanda. Namun, hanya anak-anak orang Eropa dan sebagian kecil priyayi Jawa, yang dapat memasuki sekolah-sekolah ini (van Niel, 1984: 41). Untuk membentuk jiwa pegawai yang sesuai dengan kebutuhan pemerintah, saat para priyayi muda memasuki pendidikan Sekolah Lanjutan Atas atau Hogere Burger School (HBS), misalnya, mereka harus meninggalkan lingkungan keluarga mereka untuk hidup bersama-sama dengan orang-orang Eropa yang murni. Hal ini agar moral dan intelektual berkembang lebih sehat, daripada jika mereka tetap di lingkungan keluarga asal mereka (Sutherland, 1979: 86).
Hal itu telah melahirkan sebuah generasi yang berpikiran maju, yang mahir menulis dan berbahasa Belanda, seperti Pangeran Ario Tjondronegoro IV (Bupati Kudus pada 1836 dan Demak pada 1850-1866). Ia menggaji seorang guru Bahasa Belanda bernama C.E. van Kesteren, untuk mengajar anak-anaknya. Usaha Pangeran Ario Tjondronegoro IV tersebut berhasil. Keempat anaknya yang dididik oleh C.E. van Kasteren, semuanya menjadi bupati. Pertama, adalah R.M.A.A. Sosroningrat (Bupati Jepara 1880-1905), ayah dari R.A. Kartini, yang memasukkan anak perempuannya ke Europeesche Lagere School (ELS) setempat. Sesuatu yang tidak umum untuk anak gadis bersekolah saat itu. Kedua, R.M.A. Poerbodiningrat, Bupati Kudus dan Brebes yang banyak menulis artikel serta buku dalam Bahasa Jawa. Ketiga, R.M.A.A. Poerbodiningrat (Bupati Demak pada 1811-1915). Keempat, P.A. Adiningrat, yang mendapatkan pendidikan teknologi di Delf pada 1871. Setelah ayahnya meninggal, ia memasuki dinas pangreh praja (Sutherland, 1979: 101).
Sementara, mereka yang tidak bisa mengakses sekolah Eropa, memilih belajar kepada para kiai atau mengaji di pesantren-pesantren. Pengajaran Alquran, adalah bentuk pendidikan paling sederhana dari contoh ini. Jika pola pengajaran ini lebih bersifat individual, maka pesantren lebih bersifat institusional. Sebagai pendidikan lanjutan, di pesantren, para pelajar mempelajari kitab-kitab kuning dalam berbagai disiplin ilmu, seperti teologi (tauhid), fikih (hukum Islam), dan tasawuf (sufisme). Kedua pola ini, yaitu pendidikan Eropa dan pesantren, tampaknya diikuti pula oleh beberapa priyayi, seperti P.A.A. Achmad Djajadiningrat di Banten (Steenbrink, 1974: 10-14). Di Semarang, melalui kiai Jawa yang termasyhur, salah satunya adalah Kiai Saleh Darat, sebuah jaringan keilmuan terjalin antara Jawa dengan pusat pengajaran Islam, yaitu Makkah dan Madinah (Mas’ud, 2006).
Read More