Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Masjid Gedhe Kauman
Kraton Kasultanan Yogyakarta (selanjutnya disebut Kraton Yogya) menjadi ikon paling penting di pusat Kota Yogyakarta. Keberadaannya menjadi penanda eksistensi sebuah kekuasan politik dan kebudayaan yang menjadi kiblat tanah Jawa selama beberapa abad. Kraton Yogya adalah hasil dari Perjanjian Giyanti pada 1755 M, antara Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi di pihak pribumi dan N. Hartigh di pihak Belanda. Perjanjian tersebut membagi secara politis dan kebudayaan dua kerajaan Mataram Islam di tanah Jawa, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi yang mendapatkan tanah Yogyakarta, lalu menahbiskan diri menjadi Sultan Hamengkubuwana I. Oleh Ricklefs, ia disebut sebagai raja terbesar Jawa setelah Sultan Agung yang telah berhasil membangun struktur pemerintahan, wilayah, birokrasi, tata ruang, seni, budaya, dan lingkungan. Kesemuanya itu mewujud dalam berbagai fasilitas fisik, salah satunya adalah Keraton Yogya dengan berbagai fasilitas fisiknya, yakni lingkungan keraton (cepuri dan baluwarti), alun-alun, Masjid Gedhe, dan Pasar Gedhe. Keempat hal itu, menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam struktur tata kota Jawa tradisional (catur gatra tunggal) (Hadiyanta, 2017: 129).