Menurut buku Kraton Jogja: Sejarah dan Warisan Budaya (2008), bangunan keraton adalah pusat pemerintahan dan politik. Hamengku Buwana I adalah arsitek Keraton Yogyakarta ini. Keraton Yogyakarta yang memiliki luas 14.000 m2, terdiri atas tujuh bagian, yaitu: 1) Alun-alun Lor dan Sitinggil Lor, 2) Kamandungan Lor, 3) Srimanganti, 4) pusat keraton (kedhaton), 5) Kemagangan, 6) Kemandungan Kidul, 7) Alun-alun Kidul dan Sitinggil Kidul. Alun-alun lor adalah sebuah lapangan berumput di bagian utara Keraton Yogyakarta yang dahulu adalah tanah lapang yang berbentuk persegi dan dikelilingi oleh dinding pagar yang tinggi. Saat ini, dinding tersebut sudah tidak terlihat lagi, kecuali di sisi timur bagian selatan. Di pinggir-pinggirnya, ditanami deretan pohon beringin berjumlah 62 buah. Di tengah-tengahnya, terdapat sepasang pohon beringin (ringin kembar) yang diberi pagar, sehingga disebut juga dengan sebutan ringin kurung. Kedua pohon beringin itu diberi nama, Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru, sehingga total pohon beringin yang ada di wilayah ini adalah 64 buah, sesuai dengan usia Nabi Muhammad Saw. Pada masanya, hanyalah Sultan dan Patih yang boleh berjalan melewati dua pohon beringin besar itu. Alun-alun lor juga menjadi tempat bagi rakyat untuk melakukan tapa pepe (berjemur) sebelum melakukan Pisowanan Ageng bertemu dengan Sultan mereka, ketika mereka merasa keberatan dengan kebijakan sang Sultan. Rakyat tentu tidak dapat berinteraksi secara langsung dengan Sultan. Mereka akan ditemui oleh para pegawai kerajaan. Setelah mendengar segala keluh kesah mereka, para pegawai akan melaporkan kepada Sultan yang sedang duduk di sitinggil (Siti Hinggil). Alun-alun lor juga digunakan sebagai tempat penyelenggaraan upacara kerajaan yang melibatkan rakyat banyak, seperti Grebeg, Sekaten, dan Watangan.

Kompleks Sri Manganti terletak di sebelah selatan kompleks Kamandhungan Lor dan dihubungkan oleh Regol Sri Manganti. Di sisi selatan kompleks Sri Manganti berdiri Regol Danapratapa yang menghubungkan dengan kompleks Kedhaton. Kompleks Kedhaton merupakan inti dari keseluruhan bangunan keraton. Di sisi selatan kompleks Kedhaton terdapat Regol Kamagangan yang menghubungkan kompleks Kedhaton dengan kompleks Kamagangan. Kompleks Kamagangan dahulu digunakan untuk penerimaan calon pegawai (abdi dalem Magang). Di ujung selatan jalan kecil di selatan kompleks Kamagangan terdapat sebuah gerbang, yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan kompleks Kamandungan Kidul. Dinding penyekat gerbang ini memiliki ornamen yang sama dengan dinding penyekat gerbang Kamagangan. Di kompleks Kamandungan Kidul terdapat bangunan utama Bangsal Kamandungan. Bangsal ini konon berasal dari pendapa desa Pandak Karang Nangka di daerah Sokawati yang pernah menjadi tempat Sri Sultan Hamengku Buwana I bermarkas saat perang perebutan tahta III. Di sisi selatan Kamandungan Kidul terdapat sebuah gerbang, Regol Kamandungan, yang menjadi pintu paling selatan dari kompleks cepuri. Di antara kompleks Kamandungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul terdapat jalan yang disebut dengan Pamengkang.

Alun-alun kidul adalah bagian belakang dari Keraton Yogyakarta. Alun-alun ini dibuat untuk mengubah suasana bagian belakang keraton menjadi bagian depan, agar Keraton Yogyakarta tidak membelakangi Laut Selatan. Di tengah-tengahnya juga ditanam dua pohon beringin besar yang dikelilingi pagar. Secara religio-magis, Gunung Merapi, Tugu Yogyakarta, Keraton Yogyakarta, dan Pantai Selatan jika ditarik garis lurus akan membentuk garis imajiner, yang sekaligus menghubungkan Keraton Yogyakarta dengan kekuatan ghaib di Pantai Selatan. Di Alun-alun kidul, juga terdapat sitinggil yang digunakan oleh Sultan untuk menonton pertunjukkan adu manusia dengan macan yang disebut rampog macan. Tempat ini juga menjadi tempat bagi Sultan untuk melihat pasukannya menyiapkan diri, melakukan gladi bersih untuk upacara Grebeg dan sebagainya.  

Sebagai sebuah kerajaan Islam, Kasultanan Yogyakarta juga memiliki masjid sebagai tempat beribadah Sultan dengan rakyatnya di kampung Kauman. Dalam Profile Masjid Gedhe Kauman yang diterbitkan oleh Dewan Takmir Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, dinyatakan bahwa masjid ini dibangun oleh Hamengku Buwana I pada 29 Mei 1773 M atau 6 Rabiul Awwal 1187 H/ Alip 1699 Jw dengan sengkalan Gapura Trus Winayang Jalma. Selain Hamengku Buwana I, pembangunan masjid juga diprakarsai oleh Kyai Fakih Ibrohim Diponingrat atau Kyai Pengulu I dan dirancang oleh arsitek yang sangat terkenal, yaitu Kyai Wiryokusumo. Atap masjid bersusun tiga dengan gaya tradisional Jawa bernama Tajuk Lambang Teplok dengan mustaka berbentuk daun Kluwih dan Gadha. Mustaka ini ditopang oleh tiang-tiang kayu jati Jawa yang telah berusia ratusan tahun. Dinding masjid terbuat dari susunan batu bata putih dan lantainya dari batu kali hitam.

Masjid ini mengalami renovasi dan perluasan dua tahun setelah berdiri, yakni pada 1775 M, tepatnya pada Kamis Kliwon, 20 Syawal 1189 H/ Jimawal 1707 Jw. Perluasan yang dimaksud adalah pembangunan serambi masjid yang difungsikan pula sebagai Al-Mahkamah Al-Kabirah, yaitu tempat pertemuan para ulama, pengajaran Islam, pengadilan agama, pernikahan, perceraian, pembagian waris, peringatan hari-hari besar Islam, dan sebagainya. Selain serambi masjid, dibangun pula dua bangunan yang disebut pagongan, yang terletak di sebelah utara dan selatan halaman masjid. Sesuai namanya, pagongan yang berasal dari kata gong dengan imbuhan pe- dan -an, adalah tempat gong (gamelan). Gamelan ini dimainkan saat bulan Maulid tiba untuk menarik masyarakat Jawa yang sangat menggemari kesenian tradisional gamelan sembari diselingi dengan dakwah Islam yang disampaikan oleh para ulama (pengulu). Saat masyarakat yang berbondong-bondong menonton pertunjukan gamelan tersebut kemudian tertarik memeluk agama Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadattain), lalu lahirlah istilah sadaten atau sekaten.

Untuk melengkapi bangunan kompleks masjid, di bagian depan, dibangun pula pintu gerbang atau gapura masjid pada 1840 yang bertepatan dengan 23 Muharram 1255 H atau Suro tahun Dal 1767 Jw. Gapura ini berbentuk Semar Tinandu, yang berarti bahwa masjid harus menjadi contoh teladan yang baik bagi raja dan para ksatria, seperti halnya sosok Semar bagi Pandawa. Namun, gapura ini mengalami kerusakan hebat, saat gempa bumi yang dahsyat melanda Yogyakarta pada 1867. Selain gapura, gempa juga merusak serambi masjid dan bangunannya menimpa beberapa orang yang menyebabkan kematian kyai pengulu pada saat itu. Oleh Sultan Hamengku Buwana VI, gapura dan serambi yang rusak dibangun kembali dengan kagungan dalem Surambi Menara Agung dengan menggunakan material yang sedianya digunakan untuk membangun pagelaran keraton. Pembangunan kembali serambi masjid dimulai pada 1868 bertepatan dengan Kamis Kliwon, 20 Jumadil Akhir 1285 H atau Jimawal 1797 Jw. Luas serambi masjid, dua kali lebih besar dari luas sebelumnya.

Pembangunan demi pembangunan dilanjutkan pada masa-masa berikutnya. Pada 1917, dibangun gedung pajagan, yakni tempat menjaga keamanan bagi para prajurit keraton di kanan dan kiri regol gapuro. Pada 1933, atas prakarsa Sultan Hamengku Buwana VII, atap sirap masjid yang semula terbuat dari kayu dan sudah lapuk, diganti dengan seng wiron (bergelombang), sedangkan lantainya yang semula terbuat dari batu kali hitam diganti dengan tegel kembang yang cantik. Tiga tahun kemudian, pada 1933, oleh Hamengku Buwana VII pula, lantai ruang salat utama masjid yang semula terbuat dari batu kali hitam, diganti dengan marmer yang berasal dari Italia. 

Selain masjid dan beberapa fasilitasnya, Sultan juga membangun fasilitas bagi para pengurus masjid. Mereka adalah para penghulu keraton (pengulu) yang tinggal bersama keluarga mereka di kampung Kauman. Para pengurus Masjid Gedhe, mulai dari Khotib (ketib/ ulama), Modin (muadzin), Merbot, Abdi Dalem Pametakan, Abdi Dalem Kaji Selusinan, dan Abdi Dalem Banjar Mangah, mendapatkan fasilitas perumahan di sekitar kompleks masjid yang dinamakan dengan nama Kauman atau Pakauman, yakni tempat para qaum/ Qoimuddin/ orang yang mengurus agama). Oleh karena dihuni oleh para pengulu, kampung ini juga dikenal dengan nama kampung pengulon (Wawancara dengan M. Waslan Aslam, pengurus Masjid Gede Kauman, 12 Mei 2019).