Nama besar lain, yang selalu dilekatkan dengan sosok Sunan Terboyo adalah kakek buyutnya, yaitu Kyai Bustam Kertoboso. Ia adalah orang pertama yang memberikan gagasan untuk mendirikan dua kerajaan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Ia juga diyakini merancang sebagian besar dari persetujuan terakhir antara Pangeran Mangkubumi dan Belanda. Saat itu, pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi, sudah berada di sekitar Semarang. Namun, tidak ada orang yang berani membawa surat kepada Pangeran Mangkubumi. Banyak para adipati yang diminta untuk membawa surat kepada Pangeran Mangkubumi, tetapi kebanyakan dari mereka lebih menyukai untuk meletakkan jabatan daripada melaksanakan tugas berbahaya tersebut. Saat kebuntuan itulah, Kyai Bustam tampil dan bersedia melaksanakan tugas itu seorang diri.

Ia menyamar sebagai pemotong rumput. Setelah melewati berbagai bahaya, akhirnya ia dapat bertemu dengan Pangeran Mangkubumi. Semula ia diperlakukan sebagai tawanan, tetapi setelah Kyai Bustam memperlihatkan surat yang dibawanya, ia mendapatkan penghormatan yang pantas. Dalam pertemuan tersebut, Kyai Bustam menyatakan bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi adalah akibat dari kesalahan politik Belanda terhadap Mangkubumi. Setelah pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi, Kyai Bustam menemui pihak Belanda dan mengatakan pada Belanda, bahwa Pangeran Mangkubumi berhak menjadi raja Jawa. Hal ini karena Pangeran Mangkubumi adalah putra raja Kartasura, Amangkurat IV dan adik raja yang baru meninggal dunia, Paku Buwana II. Hasil dari negosiasi itu adalah Perjanjian Giyanti di kaki Gunung Lawu, yang memisahkan dua kekuasan besar Jawa, yakni Surakarta dan Yogyakarta pada 13 Februari 1755. Saat itu, pertemuan antara Nicholaas Hartingh dengan Mangkubumi, hanya disaksikan oleh Kyai Bustam sebagai penerjemah dan Patih Natakusuma (Ricklefs, 2002: 102). Hal ini berlaku berkat perantaraan dan nasihat dari Kyai Bustam. Akhirnya, peperangan antara Pangeran Mangkubumi dan Belanda  pun dapat diakhiri dengan memberi kekuasan kepada Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi Sultan Hamengku Buwana I, Sultan Yogyakarta Hadiningrat.

 Meskipun sulit ditemukan sejarah tertulis tentang Kanjeng Terboyo, namun terdapat satu peninggalan sejarah yang sampai sekarang masih berdiri megah, yaitu Masjid Agung Terboyo. Masjid ini memiliki ciri khas, yakni mimbar kayu  jati dengan ukiran yang unik. Pada sandaran tempat duduk khatib, terdapat prasasti yang menyatakan bahwa masjid ini dibangun oleh Kanjeng Terboyo. Haul Kanjeng Terboyo yang diselenggarakan setiap 1 Muharram, menjadi puncak peziarahan masyarakat Semarang dan sekitarnya, di samping waktu-waktu lain, seperti Ruwah dan Syawal.