Menurut trah keluarga besar Nyatnyono, Waliyullah Hasan Munadi adalah keturunan Majapahit. Ayahnya adalah Raden Suruh (Raja Majalengka) bin Raden Munding Wangi (Raden Pajajaran) bin Raden Ronggo (Raja Jenggolo) sampai dengan Nabi Adam as. Waliyullah Hasan Munadi adalah saudara satu ayah beda ibu dengan Raden Patah, Sultan Demak. Sosok yang pertama adalah kakak, sedangkan Raden Patah adalah adik dari garis Putri Cempa di Lasem. Ada pula yang menyebutkan bahwa selain keturunan Brawijaya V, ia adalah keturunan Sunan Ampel dan sekaligus keturunan Sunan Kalijaga dari istri sepuh, Garwa Pangrembe (Trah Keluarga Besar Nyatnyono). Mengenai keturunan Sunan Kalijaga, beberapa informasi dari tokoh-tokoh lokal yang dicatat oleh keluarga, seperti Kyai Abdullah Umar dari Kaliwungu, Kendal dan Kyai Mansur dari Surakarta juga menyatakan demikian. Namun, kedua tokoh ini tidak menyebutkan nama ibu dari Waliyullah Hasan Munadi. Nama ibu yang lain muncul dari pendapat Raden Darmowuluyo, keturunan Demang Ireng yang menyatakan bahwa Raden Bambang Kartonadi adalah putra Sunan Kalijaga dari istri Dwi Gemawang yang berasal dari Kediri.

Seperti telah disebutkan, Waliyullah Hasan Munadi atau Raden Bambang Kartonadi hidup pada masa-masa awal penyebaran Islam di Jawa. Bergelar Tumenggung, Waliyullah Hasan Munadi menjadi salah satu pucuk pimpinan pasukan Demak. Setelah pengabdiannya di Demak, ia memilih untuk mendalami agama dan menjadi penyebar Islam. Saat itu, masyarakat masih menyembah batu, pohon, hantu, dan setan. Namun, Waliyullah Hasan Munadi bertekad untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Dalam kegiatan dakwahnya, ia memilih untuk berjalan ke arah selatan.

Pada perjalanannya inilah, ia bertemu dengan beberapa muridnya. Dua orang yang paling menonjol adalah Kyai Gede Cendono dan Ki Ageng Sekiringan. Ia melanjutkan perjalanan menuju Gunung Suryalaya untuk bertapa, mendekatkan diri kepada Allah Swt. Hal ini ia lakukan karena ia sadar, bahwa usahanya untuk menyebarkan Islam, pastilah akan mendapatkan banyak halangan dan rintangan. Rintangan yang paling berat bagi Waliyullah Hasan Munadi adalah penentangan dari tokoh-tokoh yang sakti dan kuat, seperti Ki Anjar Bonit dan Raden Potro Kusuma.

Setelah 100 hari bertama di Gunung Suryalaya, ia berniat untuk meninggalkan tempatnya itu. Namun, tiba-tiba ia dikejutkan oleh gambaran (penampakan) isarat sebuah masjid. Melihat hal itu, ia secara spontan mengucapkan kalimat dalam Bahasa Jawa: lagi menyat wes ana (baru saja berdiri sudah ada secara tiba-tiba). Dalam tradisi lisan masyarakat, peristiwa ini dikaitkan dengan asal-mula wilayah yang saat ini dikenal dengan sebutan Nyatnyono. Melihat gambaran itu, ia semakin mantap untuk menetap dan membangun sebuah masjid.

Pembangun masjid itu, bersamaan dengan pembangunan Masjid Agung Demak oleh para wali. Sebagai saudara sultan, ia juga dimintai bantuan oleh Sunan Kalijaga untuk membantu pembangunan masjid. Namun, Waliyullah Hasan Munadi menyatakan kepada Sunan Kalijaga bahwa saat ini, ia juga sedang membangun sebuah masjid. Oleh karena itu, ia meminta, sebelum ia datang ke Demak, para wali harus membuat masjid terlebih dahulu di Nyatnyono. Ia pun memberikan sebuah syarat khusus, bahwa masjid yang ia bangun dengan bantuan para wali hanya memiliki satu tiang (saka). Permintaannya ini dipenuhi oleh Sunan Kalijaga dengan mengirimkan satu tiang yang sedianya digunakan untuk pembangunan Masjid Demak. Itulah mengapa, ketika pembangunan Masjid Demak, Sunan Kalijaga kekurangan satu tiang dan diganti dengan tiang dari tatal (potongan kayu-kayu kecil).

Tiang satu tersebut, oleh keturunan Waliyullah Hasan Munadi pada masa berikutnya, yakni Kyai Raden Purwo Hadi, diubah menjadi empat tiang. Hal ini ia lakukan setelah ia bertapa selama satu tahun di Masjid dan Makam Nyatnyono. Pada 1895, rehab ketiga dilakukan kembali oleh keturunan dan masyarakat sekitar dengan tidak mengubah tiang masjid sama sekali. 

Waliyullah Hasan Munadi memiliki dua orang istri, yakni putri dari Kyai Ageng Makukuhan II (Raden Abdullah Taqwim) dari Magelang dan putri dari pembesar Ponorogo. Dari kedua putrinya itu, ia mendapatkan keturunan hanya dari istri yang pertama. Di antara keturunannya adalah Waliyullah Hasan Dipuro yang juga meneruskan jejaknya menjadi ulama dan penyebar agama Islam. Waliyullah Hasan Munadi dikaruniai usia yang panjang, yakni 130 tahun. Ia menghabiskan masa tuanya di kediaman istri mudanya di Ponorogo. Ketika ia meninggal dunia, keluarga di Nyatnyono tidak diundang, sehingga tidak ada yang datang. Namun, sang anak, Waliyullah Hasan Dipuro telah mengetahui hal itu melalui pandangan mata batinnya yang tajam. Oleh karena di Ponorogo, Waliyullah Hasan Munadi tidak memiliki keturunan, sang anak memenuhi sang ayah “secara spiritual” untuk memintanya pindah ke Nyatnyono. Akhirnya, pada 21 Ramadan setelah selesai Salat Tarawih, jasad beserta tanah makam Waliyullah Hasan Munadi dipindah ke Nyatnyono. Sampai saat ini, setiap 21 Ramadan, menjadi peringatan haul Waliyullah Hasan Munadi yang dihadiri oleh berbagai peziarah dari seluruh wilayah.

Di dekat makam Waliyullah Hasan Munadi, terdapat pula air keramat (Sendang Nyatnyono) yang ramai pengunjung. Sendang ini biasanya akan dikunjungi oleh para peziarah, untuk melakukan mandi dan bersih-bersih, sebelum mereka berziarah ke makam Waliyullah Hasan Munadi dan putranya, Waliyullah Hasan Dipuro. Menurut juru kunci, air keramat Nyatnyono ditemukan berawal dari kegiatan renovasi masjid peninggalan Waliyullah Hasan Munadi. Saat itu, kondisi masjid sudah sangat mengkhawatirkan. Saat musim hujan tiba, air akan masuk ke dalam masjid karena atap-atap masjid bocor dan rusak. Renovasi masjid dilakukan oleh Kyai Raden Purwo Hadi, salah satu keturunan dari Waliyullah Hasan Munadi pada 1980. Adapun pendanaan renovasi dilakukan melalui pendanaan murni masyarakat yang dikoordinasi oleh panitia pembangunan masjid.

Bagi juru kunci, memperbaiki sebuah masjid peninggalan seorang wali, tidak bisa sembarangan. Oleh karena itu, selain pendanaan, usaha spiritual juga dilakukan melalui mujahadah selama 100 hari di puncak Gunung Suryalaya. Untuk mendukung usaha tersebut, sang Imam, yakni Kyai Raden Purwo Hadi, juga meminta bantuan dua orang ulama kharismatik Jawa Tengah, yakni K.H. Abdul Hamid dari Kajoran, Magelang dan K.H. Ahmad Abdul Haq dari Watucongol, Muntilan, Magelang. Dua ulama itu pulalah yang memimpin tahlil, untuk mengawali renovasi masjid. Pembongkaran dilakukan secara gotong-royong oleh masyarakat dan para peziarah. Namun, ada hal yang unik (Wawancara dengan Bari dan Toyibin, Juru Kunci dan Penjaga Sendang Nyatnyono, 1 Juli 2019).

Setiap kali peziarah datang, mereka selalu datang dari arah sebelah kiri (utara) masjid. Setelah hal ini disampaikan oleh sang imam kepada dua orang ulama, kedua ulama tersebut menjawab melalui pandangan spiritual, bahwa di sebelah kiri terdapat sebuah mata air yang menjadi salah satu karomah dari seorang wali. Setelah keberadaan air keramat diketahui, semakin banyak pula orang yang datang untuk mengambil berkah dan dana renovasi masjid semakin cepat terkumpul. Bahkan, dana yang semula hanya untuk renovasi masjid, semakin bertambah banyak, sehingga dapat digunakan oleh pengurus untuk melakukan renovasi air keramat dan makam Waliyullah Hasan Munadi. Selain itu, dana juga disalurkan untuk pembangunan fasilitas pendukung yang lain, seperti madrasah, pondok pesantren, musholla, dan membantu pondok-pondok pesantren di berbagai daerah. Setelah sendang air keramat selesai direnovasi, sendang ini diberi nama Sendang Keramat Kalimah Thoyyibah.