Menurut Babad Tuban, Sunan Kalijaga memiliki seorang kakek yang bernama Aria Teja atau Abdurrahman yang diyakini sebagai keturunan Arab. Ia berhasil mengislamkan Adipati Tuban yang bernama Aria Dikara yang kemudian menjadi mertuanya. Ia juga menggantikan sang mertua menjadi Adipati Tuban, setelah sang adipati meninggal dunia. Setelah menjadi adipati, Abdurrahman mengubah namanya menjadi Aria Teja. Dari perkawinannya dengan anak Aria Dikara, Aria Teja memiliki anak laki-laki yang bernama Aria Wilatikta. Sebelum menikah dengan anak Aria Dikara, Aria Teja juga pernah menikah dengan putri dari Raja Surabaya, Aria Lembu Sura. Dari pernikahannya itu, ia memiliki seorang putri yang bernama Nyai Ageng Manila yang pada masa selanjutnya menjadi istri dari Sunan Ampel.

Mengenai sosok Sunan Kalijaga yang keturunan Arab, juga disebutkan oleh L.W.C. van den Berg. Menurutnya, Sunan Kalijaga adalah putra dari Tumenggung Wilatikta (Adipati Tuban), putra dari Lembu Kusuma (Bupati Tuban), putra dari Teja Laku (Bupati Majapahit), putra dari Abdurrahim (Aria Teja, Bupati Tuban), putra dari Kourames, putra dari Abbas, putra dari Abdullah, putra dari Ahmad, putra dari Jamal, putra dari Hasanuddin, putra dari Arifin, putra dari Madhra’uf, putra dari Abdullah, putra dari Mubarak, putra dari Kharmia, putra dari Abdullah, putra dari Mudzakir, putra dari Abdul Wakhid, putra dari Abbas, putra dari Abdul Muthalib. Menurut H.J. de Graaf, Aria Teja I yang bernama Abdurrahman, adalah orang Arab yang memiliki silsilah sampai kepada Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad Saw. (Sunyoto, 2012: 213-214). Dari berbagai macam versi mengenai asal usul Sunan Kalijaga, tampaknya terdapat persamaan, bahwa Sunan Kalijaga adalah putra dari Aria Wilatikta, Bupati Tuban. Bupati ini memiliki nama asli, Abdul Syukur, yang menikah dengan Putri Nawangrum dan menurunkan Raden Sahid (Sunan Kalijaga), sebagaimana disebutkan dalam Babad Demak. Ada pula yang menyatakan bahwa ayah dari Sunan Kalijaga ini bernama, Raden Sahur Wilatikta.  

Saat muda, Raden Sahid dikenal nakal. Kenakalan itu membuatnya diusir oleh orang tua yang malu atas kelakuan anaknya, yang terkenal brandalan. Diusir dari rumah, Raden Sahid tidak bertaubat, tetapi semakin menjadi-jadi. Ia tumbuh menjadi seorang pimpinan perampok yang ditakuti di Tuban dengan julukan Brandal Lokajaya. Namun, takdir berkata lain. Raden Sahid, lalu menemukan jalan sucinya, berguru dengan sang guru yang juga suci, Kanjeng Sunan Bonang. Selain Sunan Bonang, ia juga belajar kepada Sunan Ampel dan Syaikh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati. Dari mereka, Sunan Kalijaga mengambil berbagai macam ilmu, mulai dari ilmu syariah, hakikat, kanuragan, filsafat, kesenian, dan lain sebagainya. Menurut Pustoko Darah Agung, Raden Sahid (Sunan Kalijaga), berguru cukup lama dengan Syaikh Syarif Hidayatullah di Cirebon. Di sana, ia diperintahkan untuk bertapa di pinggiran sungai, hingga ia dikenal dengan nama Kalijaga. Ada pula versi yang menyatakan, bahwa ia bertapa di pinggiran sungai adalah atas perintah gurunya yang lain, yakni Sunan Bonang. Namun, di Cirebon, saat ini terdapat sebuah desa bernama Kalijaga. Di desa ini pula, terdapat petilasaan yang diyakini sebagai petilasan pertapaan Sunan Kalijaga (Amar, 1992: 11).

Seperti halnya Walisongo yang lain, gaya dakwah Sunan Kalijaga dikenal lembut, memadukan antara ajaran Islam dengan tradisi dan budaya Jawa yang kental. Wayang kulit adalah salah satu strategi dakwahnya dan terbukti telah banyak membawa banyak orang Jawa pada waktu itu untuk memeluk Islam. Ia juga dikenal sebagai seorang dhalang yang piawai menarik penonton. Tidak heran, menurut Babad Cirebon, ia juga dikenal dengan banyak sebutan tokoh dhalang, seperti Ki Dhalang Sida Brangti, Ki Dhalang Bengkong, Ki Dhalang Kumendung, dan Ki Dhalang Unehan. Ia adalah juga seorang penari yang andal. Tarian topeng adalah salah satu media dakwahnya yang lain. Sebagai seniman, ia banyak melakukan inovasi dalam dunia pewayangan. Untuk mendukung dakwahnya, Sunan Kalijaga memunculkan tokoh-tokoh baru, seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong; tokoh-tokoh ini tidak dikenal dalam kisah pewayangan Mahabharata dan Ramayaha di India. Ia juga diyakini telah menciptakan berbagai macam cerita carangan yang populer hingga saat ini, seperti Dewa Ruci, Semar Barang Jantur, Petruk Dadi Ratu, Mustakaweni, Dewa Srani, Pandu Bergola, dan Wisanggeni.

Banyak orang meragukan mengenai peranan para Wali, khususnya Sunan Kalijaga di bidang pewayangan. Namun, Pigeaud seperti dikutip Sunyoto (2012: 222) meyakini bahwa pertunjukan wayang adalah benar-benar kreasi para Wali, khususnya Sunan Kalijaga. Mungkin saja, kesenian wayang kulit telah ada sebelum kedatangan Islam, tetapi pertunjukan wayang seperti bentuk dan tujuannya sekarang, terdapat peranan dari wali-wali itu. Selain wayang dan lakon carangan, Sunan Kalijaga juga diyakini menciptakan berbagai tembang yang syarat akan makna dan ajaran Islam. Salah satu yang paling populer adalah tembang Ilir-Ilir dan Kidung Rumeksa ing Wengi. Setelah cukup lama berdakwah di Cirebon, ia hijrah ke Demak, atas permintaan Sultan Demak pada waktu itu. Di sini, Sunan Kalijaga mulai memantapkan peranannya yang lain sebagai Walisongo, yakni di dunia politik dan pemerintahan. Di Demak pula, Sunan Kalijaga mendapatkan sebuah tanah khusus di wilayah Kadilangu sebagai tempat tinggal, sampai ia wafat dan dimakamkan.