Nama Kudus adalah nama yang diberikan oleh Sunan Kudus (Ja’far Shadiq) setelah kepindahannya dari Demak. Nama Kudus adalah Jawanisasi, Al-Quds, yang berasal dari nama Sucen yang berarti Suci (Graaf dan Pigeaud, 2001: 111). Sunan Kudus kemudian memutuskan untuk memberi nama masjid yang baru didirikannya di kompleks candi makam Sri Sanggramawijaya dengan Masjid Al-Aqsha, nama masjid yang terkenal di Yerussalem, Palestina yang dikenal juga dengan sebutan Baitul Maqdis (Budiman, 45). Para pengunjung Barat sudah sejak abad ke-17 mengagumi menara raksasa yang merupakan bangunan yang kokoh dan indah, yang arsitekturnya identik dengan candi-candi Hindu zaman pra-Islam. Penduduk “kota suci”, Sunan Kudus dan pengikutnya, tampaknya tidak merasa perlu untuk memusnahkan segala sesuatu yang mengingatkan pada zaman Hindu pra-Islam (Graaf dan Pigeaud, 2001: 112). 

Menurut H.J. De Graaf dan Th. Pigeaud, Sunan Kudus yang bernama Ja’far Shadiq adalah salah satu imam masjid Kerajaan Demak. Tercatat bahwa Masjid Demak pernah memiliki lima orang imam, dua di antaranya adalah Penghulu Rahmatullah dari Undung (sering dikenal dengan sebutan Sunan Ngudung) dan Sunan Kudus. Sunan Ngudung ini adalah ayah dari Sunan Kudus. Dalam Hikayat Hasanuddin disebutkan bahwa antara ayah dan anak ini dikenal sebagai ahli agama dan penyebar agama Islam yang gigih. Keduanya pernah terlibat dalam perjuangan meruntuhkan Kerajaan Majapahit, dan Sunan Ngudung gugur sebagai syahid dalam pertempuran itu. Penghulu Rahmatullah ditetapkan sebagai imam keempat Masjid Demak pada masa Sultan Trenggana, sedangkan Sunan Kudus, adalah imam kelima Masjid Demak pada akhir masa Sultan Trenggana dan pada awal masa Sunan Prawata. Sunan Kudus keluar dari Demak dan pindah mendirikan Kota Kudus setelah ada perbedaan pendapat dengan Sultan Demak dalam penentuan tanggal awal bulan puasa (Graaf dan Pigeaud, 2001: 108). Riwayat lain mengisahkan adanya iri hati Sunan Kudus terhadap Sunan Kalijaga yang dalam pemerintahan Sultan Trenggana telah pindah ke Demak dari Cirebon atas permintaan Sultan Demak itu (Graaf dan Pigeaud, 2001: 109-110). Selain itu, ada kemungkinan juga Sunan Kudus meninggalkan Demak karena keinginan untuk hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk memperdalam ilmu ketuhanan dan melakukan karya-karya yang direstui Tuhan, di luar keraton Demak (Graaf dan Pigeaud, 2001: 112).

Titi mangsa kelahiran kota Kudus dapat dirujuk melalui inskripsi di atas mihrab Masjid Menara (Al-Aqsha) berupa candra sengkala lamba, yaitu berupa tulisan bahasa Arab. Secara lengkap inskripsi tersebut berbunyi sebagai berikut:

“Bismillaahirrahmaanirrahiim. Aqaama bina-al masjid al-Aqsha wal balad al-Kuds Khaliifatu haadzad dahr habru (aali) Muhammad, yasytari . . . izzan fi jannah al-khuldi  .  .  . qurban minarrahman bibalad al-Kuds ansya-a haadzal masjid al-Manar al-musamma bil Aqsha khalifatullaahi fil ardli . . . al-‘ulyaa wal mujtahid as-sayyid al-‘Arif al-Kamil al-Fadhil al-Maksus bi-‘inaayati . . . al-Qodli Ja’far Shodiq .  .  . sanah sittin wa khomsiina wa tis’i miatin minal hijrah annabawiyyah wa shallallaahu ‘alaa sayyidina Muhammadin wa ashhaabihi ajma’iin.”

Artinya:

“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Telah mendirikan masjid al-Aqsha dan negeri Kudus ini seorang khalifah pada zaman dari keturunan Muhammad untuk membeli kemuliaan surga yang kekal . . . untuk mendekatkan diri kepada Tuhan di negeri Kudus, membina masjid al-Manar (tempat cahaya) yang dinamakan al-Aqsha khalifatullaah di muka bumi.

. . . yang Agung dan mujtahid Sayyid (tuan) yang arief (yang mengetahui) kamil (yang sempurna) fadhil (yang melebihi) al maksus (yang dikhususkan), dengan pemeliharaan al-Qadli (hakim) Ja’far Shodiq . . . pada tahun 956 dari hijrah nabi Muhammad Saw.”

Inskripsi yang masih jelas terlihat di atas mihrab Masjid Al-Aqsha Kudus tersebut secara jelas menyebut angka 956 Hijriah atau Senin Pahing tanggal 3 Oktober 1549 M (Cermin, 2005: 15). 

Menurut silsilahnya, Sunan Kudus atau Syaikh Ja’far Shadiq adalah putra R. Usman Haji (yang bergelar Sunan Ngudung di Jipang Panolan) putra Raja Pendeta bin Ibrahim Asmarakandi (Samarkand, Uzbekistan) putra Maulana Muhammad Jumadilkubra putra Zaini al-Khusain putra Zain al-Kubra bin Zainul ‘Alim putra Zainul Abidin putra Sayyid Husain putra Ali r.a. suami Fatimah putri Rasulullah Saw. Sunan Kudus kemudian menikah dengan Dewi Rukhil, putri Raden Makdum Ibrahim, Sunan Bonang di Tuban. Raden Makdum Ibrahim adalah putra Raden Rahmat, Sunan Ampel putra Maulana Ibrahim Asmarakandi. Di sini, maka silsilah Sunan Kudus bertemu dengan garis nasab istrinya, yakni Maulana Ibrahim Asmarakandi. Dari perkawinannya dengan Dewi Rukhil, Sunan Kudus hanya mendapatkan seorang putra laki-laki bernama Amir Hasan. Riwayat lain menyebutkan, bahwa perkawinannya dengan Putri dari Pangeran Pecat Tandaterung dari Majapahit, Sunan Kudus memperoleh delapan orang putra, yaitu: Nyi Ageng Pembayun, Panembahan Palembang, Panembahan Mekaos Honggokusumo, Panembahan Kodhi, Panembahan Karimun, Panembahan Jaka (meninggal ketika kecil), Ratu Pakojo, dan Ratu Prodobinabar (yang kemudian kawin dengan Pangeran Poncowati, Panglima Perang Sunan Kudus) (Salam, 1986: 12-13). 

Sunan Kudus bertempat tinggal di Langgardalem. Nama “langgar” berarti surau (tempat sembahyang), sedangkan “dalem” berarti raja, jadi Langgardalem dapat diartikan sebagai langgarnya raja. Besar kemungkinan bahwa semasa hidupnya, Sunan Kudus bertempat tinggal di sekitar Masjid Menara, sebagaimana halnya Nabi Muhammad Saw. yang bertempat tinggal di sekitar pekarangan Masjid Nabawi di Madinah. Di sini, Sunan Kudus tinggal di sekitar tempat yang dikenal dengan nama Tajug (Salam, 1986: 30). Tajug adalah istilah Sunda untuk menyebut masjid-masjid kecil, yang di Jawa Tengah disebut “langgar” dan di Minangkabau disebut dengan “surau”. Bentuk bangunan Tajug di sekitar kompleks Makam Sunan Kudus ini mengingatkan kita pada bentuk paseban yang biasa terdapat di keraton. Di depan Tajug terdapat bangunan seperti gardu tempat penjaga punggawa keraton (Salam, 1986: 31).    

Sebagai seorang guru agama, Sunan Kudus diceritakan memiliki murid kesayangan bernama Aria Panangsang dari Jipang, namun bermusuhan dengan Sunan Prawata dari Demak. Permusuhan dengan pengganti Sultan Trenggana ini disebabkan Pangeran Prawata yang mula-mula menjadi murid Sunan Kudus, kemudian mengakui Sunan Kalijaga sebagai gurunya. Selanjutnya diceritakan, bahwa Sunan Kudus menghasut atau setidak-tidaknya memberi kuasa, muridnya yang paling dikasihi, Aria Panangsang di Jipang itu untuk membunuh Pangeran Prawata, karena dianggap dosa besar memiliki dua guru sekaligus. Menurut Babad Tanah Jawi, Sunan Kudus memiliki tiga murid, yakni Arya Panangsang, Sunan Prawata, dan Sultan Pajang. Selanjutnya, Babad Tanah Jawi menceritakan percakapan antara Sunan Kudus dan Arya Panangsang tersebut sebagai berikut: Soenan Koedoes ngandika dhateng arya Panangsang: “Wong ngalap-do goeroe ikoe oekoeme apa?” Arya Djipang matoer alon: “Oekoemipoen pinedjahan. Sarehning koela dereng soemerep, sinten ingkang gadah lampah mekaten poenika.” Soenan Koedoes ngandika: “Kakangmoe ing Prawata” (Olthof, t.t.: 46).

Menurut cerita lain, pada masa selanjutnya, Sunan Kudus pernah ingin mendamaikan kembali Aria Panangsang dari Jipang dengan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) yang kelak menjadi Sultan Pajang. Dikisahkan Sunan Kudus memanggil Arya Panangsang dan Sultan Pajang, kedua muridnya yang bertikai tersebut untuk menghadap ke Kudus. Mereka menghadap Sunan Kudus di pasowan (Olthof, t.t.: 49). Hal ini bagaimanapun, menunjukkan bahwa ulama besar ini memiliki kemauan dan perhatian terhadap masalah politik dan pemerintahan.