Sunan Muria atau biasa disebut juga dengan nama Raden Umar Said, merupakan salah seorang dari kesembilan wali yang terkenal di Jawa. Dalam riwayat dikatakan, bahwa ia adalah putera dari Sunan Kalijaga (Salam, 1960: 54-55). Nama kecilnya ialah Raden Prawata. Dalam perkawinannya dengan Dewi Soejinah putri Sunan Ngudung, Sunan Muria memperoleh seorang putra yang diberi nama Pangeran Santri, dan kemudian mendapat julukan Sunan Ngadilangu. Namun, ada pula versi yang menyatakan bahwa Sunan Muria adalah putera Nyi Ageng Maloka dengan bapak bernama Sayed Karomat. Versi ini berdasar pada Silsilah lama yang pernah ada di Makam Sunan Muria sekitar 1960-an (M. Sugiharto).

Umar Hasyim menyatakan bahwa terdapat beberapa versi tentang asal usul dari Raden Umar Said. Versi pertama menyatakan bahwa Sunan Muria adalah putera Sunan Kalijaga. Hal ini didasarkan pada buku karya A.M. Noertjahjo berjudul Cerita Sekitar Wali Sanga (1974), Solichin Salam berjudul Sekitar Wali Sanga (1960), dan Solichin Salam berjudul Sejarah Islam di Jawa. Buku karya Adhi Nugraha berjudul Kisah Perjuangan Wali Songo Para Penyebar Agama Islam Ditanah Jawa dan buku karya M. Hariwijaya berjudul Sunan Muria Sang Penolong, tampaknya mengikuti versi pertama ini. Menurut versi ini, Sunan Muria (Raden Umar Said) adalah putra dari Raden Sahid (Sunan Kalijaga). Ibunya, Dewi Saroh adalah putri dari Maulana Ishaq, sedangkan istri Sunan Muria yang bernama Dewi Sujinah, adalah kakak kandung dari Sunan Kudus. Menurut K.H. Bisri Mustofa, dalam bukunya berjudul Tarikhul Auliya, Silsilah Walisongo, dari pernikannya dengan Dewi Sujinah ini, Sunan Muria memiliki seorang putra yang bernama Pangeran Santri, yang bertempat di Kadilangu (Sunan Ngadilangu) dan bergelar pangeran Baihi (Mustofa, 2004: 22). Jika silsilah ini benar, maka Sunan Muria adalah cucu dari Maulana Ishaq, sedangkan istri dari Maulana Ishaq adalah Dewi Sekardadu, putri dari Prabu Menak Sembuyu. Tokoh yang disebut terakhir ini, adalah raja Hindu dari Blambangan (Hasyim, 1983: 14). 

Versi kedua menyatakan bahwa Sunan Muria adalah putera Sunan Ngudung. Hal ini didasarkan pada kitab Pustoko Darah Agung, karya R. Darwowasito. Kitab ini berisi sejarah dan silsilah para wali dan raja-raja Jawa. Menurut versi ini, Sunan Ngudung alias Raden Usman Haji menikah dengan Dewi Sarifah. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai empat anak, yakni Raden Umar Said atau Sunan Muria, Sunan Giri III, Raden Amir Haji atau Sunan Kudus, dan Sunan Giri II. Versi ini diikuti pula oleh karya Umar Hasyim berjudul Sunan Muria antara Fakta dan Legenda serta Amen Budiman berjudul Walisongo antara Legenda dan Fakta Sejarah. Versi Sunan Muria sebagai putra Sunan Ngudung juga didukung oleh Habib Lutfi bin Yahya, seorang ulama kharismatik asal Pekalongan. Menurutnya, Ahmad Syah Jalal mempunyai anak bernama Syaikh Jamaludin Husein (Syaikh Jumadil Kubra) yang hidup pada masa Hayam Wuruk dan Mahapatih Gadjah Mada. Lalu, Syaikh Jamaludin Husein memiliki beberapa anak, yaitu: 1) Barakat Zainal Abidin, ayah dari Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik); 2) Sayid Ibrahim As-Samarqandi, ayah dari Sayid Ahmad Rahmatillah (Sunan Ampel, ayah dari Makhdum Ibrohim, Sunan Drajad, dan Sunan Kudus) serta Maulana Ishaq, ayah dari Raden Paku (Sunan Giri) dan Ali Murtadlo (Raden Santri). Raden Santri mempunyai anak Sayid Usman Haji, ayah dari Raden Umar Said (Sunan Muria). Demikian ditulis oleh Anasom, dkk., dalam bukunya berjudul Sejarah Sunan Muria (2018: 64-71).   

Versi ketiga adalah Sunan Muria sebagai anak dari Sunan Giri. Versi ini, menjadi versi yang diyakini oleh pengelola Masjid dan Makam Sunan Muria, yang menyatakan bahwa Sunan Muria adalah putra dari Sayid Karomat yang tidak lain adalah Sunan Giri. Versi ini didasarkan pada Petikan saking Keraton Surokarto miwiti saking Nabi Adam sapiturutipun ngantos dumugi Pakubuwana 8, yang menyatakan bahwa orang tua Sunan Muria (Sayid Amir Haji) adalah pasangan Sayid Karomat (Sunan Giri) dan Nyai Ageng Maloka. 

Terlepas dari berbagai versi mengenai Sunan Muria, ia dipastikan sebagai salah seorang penyokong dari Kerajaan Demak Bintara yang setia. Bahkan, ia disebut-sebut ikut pula mendirikan Masjid Agung Demak. Semasa hidupnya dalam menjalankan dakwah Islami ia lebih suka menyepi bertempat tinggal di desa, bergaul serta hidup di tengah-tengah rakyat. Sunan Muria lebih suka berdakwah kepada rakyat tentang agama Islam di sepanjang lereng gunung Muria yang terletak 18 km, sebelah utara kota Kudus sekarang.

Sunan Muria merupakan salah satu penasihat  kerajaan Demak yang penting. Meskipun pernah salah satu pertimbangan yang diberikan tidak diterima, namun dengan lapang dada ia menerimanya karena apa yang disampaikan didasarkan pada pertimbangan terbaiknya dari kemungkinan yang ada atas dasar ketulusan hati. Tidak ada sumber lebih lanjut yang memberikan keterangan tentang keterlibatan Sunan Muria terhadap Kerajaan Demak. Namun ada keterangan ketika masa awal Kerajaan Demak, hanya ada delapan wali yang berkenan memberikan pelajaran tentang ngelmu makrifat, salah satunya adalah Sunan Muria.

Sebagai seorang pemimpin, Sunan Muria adalah sosok yang langsung mendekati rakyat. Ia menjalankan dakwah Islam dengan mendekati kaum petani, nelayan, kaum buruh, dan rakyat kecil. Ia juga mempertahankan tetap berlangsungnya penggunaan gamelan sebagai media seni Jawa yang sangat digemari rakyat golongan bawah. Seni dan budaya ia pergunakan untuk memasukkan nilai ajaran Islam ke dalam jiwa rakyat untuk mengingat kepada Allah Swt. Di samping itu ia dipercaya sebagai pencipta dari  tembang Sinom dan Kinanthi. Ia  dimakamkan di atas gunung Muria, yang kemudian menjadi nama yang ia sandang hingga saat ini, Kanjeng Sunan Muria.

Cerita tutur masyarakat menyatakan bahwa Sunan Muria adalah wali yang sakti dan memiliki kekuatan fisik yang luar biasa. Kekuatan fisik Sunan Muria dibuktikan dengan letak padepokannya yang terletak di atas gunung. Dapat dibayangkan, jika Sunan Muria, istri, dan murid-muridnya setiap hari harus naik turun gunung, untuk menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para petani. Hal itu tidak dapat dilakukan tanpa adanya fisik yang kuat. Meski ada pendapat bahwa pada saat itu menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat tinggal Sunan Muria, sehingga mereka harus jalan kaki (Nugraha, 106-116); tetapi adanya bukti peninggalan tapak kuda yang masih ada sampai sekarang yang dipercaya sebagai peninggalan Sunan Muria, dapat membuka pemikiran bahwa berkuda digunakan utamanya ke desa-desa di sekitar Muria. Sunan Muria juga dikenal toleran terhadap keyakinan agama lain. Akhlak Islam yang mulia dan agung itu ditunjukkan dengan tidak sibuk berdebat tentang perbedaan agama, tetapi dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu dalam kehidupan nyata. Strategi ini justru membuat banyak pemeluk agama lain yang pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara suka rela.

Oleh para pencintanya, Sunan Muria memiliki ajaran Atapaa banyuara, tegesi ngeli, yakni bertapa di atas air bah, artinya mengikuti arus secara sadar. Ngeli memiliki pengertian yang berbeda dari keli. Keli atau hanyut adalah keadaan tidak berdaya karena terbawa arus atau aliran air dan tidak atas kemauan sendiri, misalnya hanyut ke arus sungai; tetapi juga bisa arus yang lain. Sementara itu, ngeli merupakan tindakan mengikuti arus dengan suatu kesadaran dan tetap masih berdaya, sadar terhadap arah arus. Maka ada ungkapan yang berbunyi “jangan menentang arus”, artinya tidak perlu melakukan tindakan yang terlalu menguras tenaga yang hasilnya belum tentu bahkan sia-sia, sementara arus tetap saja mengalir ke arah seperti yang sudah-sudah. Mengikuti arus dengan kesadaran seperti dalam berdakwah memiliki makna bahwa Sunan Muria mengikuti jejak yang dilakukan oleh ayahandanya, Sunan Kalijaga dengan menggunakan media budaya, khususnya jalur kesenian seperti wayang, tembang, dan tentunya juga cara-cara dan pandangan yang masih berlangsung pada masyarakat waktu itu. Hal ini merupakan tindakan yang tepat, cerdas, dan arif atas penguasaan dirinya terhadap permasalahan masyarakat yang masih menganut kepercayaan yang berbeda. Jika dakwah dilakukan dengan membenturkan hal-hal yang sensitif bagi masyarakat, maka hasilnya pun akan sia-sia. Dakwah pun harus mempertimbangkan waktu, tempat dan siapa yang dihadapi, atau dalam ungkapan sering dinyatakan empan papan lan angon mangsa (memperhatikan situasi dan kondisi, serta waktu yang tepat). Dengan dasar yang demikian itu, tentu bisa diharapkan suatu tindakan yang berhasil secara tepat. Metode dakwah yang demikian itu dikenal dengan ilmu ngeli atau tapa ngeli. Kitab Pustaka Radja Mantrajoga (t.t., 40-44) menyebut bahwa Atapaa banyuara, tegesi ngeli (bertapalah di atas air bah, artinya ngeli) yang arti semula bertapa di atas air bah, atau yang disebut dengan ngeli. Istilah inilah yang sangat mungkin kemudian melahirkan istilah tapa ngeli. Dalam kitab tersebut dinyatakan bahwa tapa ngeli, atapaa banyuara, tegese ngeli, basa ngeli iku manut saujaring liyan, datan nyulayani merupakan salah satu  kautamaning laku atau perbuatan yang utama. Sungguh mengagumkan, salah satu istilah tapa ngeli yang sudah melekat pada diri Sunan Muria, ternyata baru satu dari 12 tindakan terpuji yang dipercaya sebagai pedoman dalam bertindak (Widodo, 2014: 18-20).