Mengenai lokasi atau tempat atau wilayah bernama Prawata, terdapat banyak versi. Babad Tanah Jawi, misalnya, menyatakan bahwa tempat ini adalah pesanggarahan. Begitu pentingnya wilayah ini, masyarakat setempat menyatakan bahwa sebelum para Wali mendirikan Masjid Agung Demak, mereka terlebih dahulu ber-khalwat dan ber-munajat  di Masjid Kauman yang ada di Desa Prawata (Romdhoni, 2018: 2).

Senada dengan Babad Tanah Jawi, Serat Centhini menyebut bahwa nama Prawata adalah nama sebuah keraton, kedhaton, nama seorang susuhunan (sunan), dan nama tempat di dataran tinggi, nama dukuh, atau nama dusun. H.J. de Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati, juga secara jelas menyebut bahwa Prawata bukanlah sekadar tempat tinggal biasa. Wilayah ini sangat mungkin adalah istana bagi raja-raja Demak (Graaf, 2001: 31).  Pendapat-pendapat ini tidaklah berlebihan. Di wilayah ini, telah ditemukan jejak-jejak bangunan kuno, makam-makam kuno dengan nama khas para tokoh-tokoh pembesar Islam pada masa awal penyebarannya di Jawa, berikut cerita-cerita rakyat yang melingkupinya. Salah satu situs paling penting di kawasan ini, tidak lain adalah Makam Sunan Prawata.

Sunan Prawata bernama asli Raden Bagus Hadi Mukmin adalah penerus dari Sultan Trenggana, Sultan Demak III. Pada masanya, ia memindahkan pusat pemerintahan kerajaan dari Demak ke lereng pegunungan Kendeng yang disebut Prawata. Sebelumnya, wilayah Prawata adalah wilayah penting dan strategis untuk mengendalikan politik dan kebijakan sultan. Sejak saat itu, Kerajaan Prawata atau Istana Prawata adalah juga Kerajaan Demak. Sebagai pengganti ayahnya, Prawata sebenarnya berambisi untuk melanjutkan usaha ayahnya menaklukan seluruh Jawa. Ia ingin mengislamkan seluruh Jawa dan berkuasa seperti Sultan Turki.

Namun, tampaknya keterampilan politiknya tidak begitu baik. Ia lebih suka hidup sebagai ulama daripada sebagai raja. Bahkan, pada masa akhir kekuasaan Demak, Sunan Prawata memilih melanjutkan hidupnya sebagai manusia suci (Sunan) yang keramat, hingga akhir hayat dan dimakamkan di Prawata. Pada masa kekuasaannya pula, wilayah-wilayah yang semula di bawah kekuasaan Demak, seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik memisahkan diri. Setelah kematian Sunan Prawata, Hadiwijaya memindahkan pusat kekuasaan politik dari Demak ke Pajang.

Kisah kematian Sunan Prawata adalah sebuah kisah kematian yang tragis. Kematiannya selalu dihubungkan dengan sosok Arya Panangsang, yang tidak lain adalah sepupunya sendiri. Setelah Pangeran Sabrang Lor meninggal tanpa keturunan, dua anak Sultan Fatah yang lain, yakni Raden Trenggana dan Raden Kikin saling berebut kuasa. Raden Trenggana dengan Pangeran Sabrang Lor adalah sama-sama anak Sultan Fatah dari permaisuri, sedangkan Raden Kikin adalah anak Sultan Fatah dari garwa selir, putri Adipati Jipang. Dikisahkan, untuk menahbiskan dirinya sebagai raja, Raden Trenggana mengirim orang suruhannya bernama Ki Surayata untuk membunuh Raden Kikin setelah salat Jumat. Ki Surayata berhasil membunuh Raden Kikin di pinggir sungai, sebelum akhirnya ia pun tewas oleh para pengawal Raden Kikin. Sejak saat itu, Raden Kikin juga dikenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen (bunga yang gugur di sungai). Raden Kikin meninggalkan dua orang putra, yakni Arya Panangsang dan Arya Mataram.

Kematian sang ayah, telah meninggalkan dendam pada diri Arya Panangsang. Ia menyusun rencana untuk membunuh Raden Mukmin sebagai balas atas kematian ayahnya, Raden Kikin. Dengan dukungan dari gurunya, Sunan Kudus, Arya Panangsang juga berambisi untuk menjadi penguasa Demak. Akhirnya, pada 1549, ia mengirim utusannya, Rangkud untuk membunuh Raden Mukmin di Prawata. Rangkud berhasil menyusup ke dalam kamar tidur Sunan Prawata. Di dalam kamar, Sunan Prawata mengakui kesalahannya telah membunuh ayah Arya Panangsang, Pengeran Sekar Seda ing Lepen. Ia pun rela dibunuh asalkan keluarganya diampuni. Rangkud menyetujui permintaan Sunan Prawata dan menikam dada sang Sunan dengan keris tanpa perlawanan sampai tembus. Malang, istri sang Sunan yang berlindung di belakang punggungnya, ikut tewas. Melihat sang istri tewas, dengan sisa-sisa kekuatannya, Sunan Prawata membunuh Rangkud.

Demikianlah, kisah tragis kematian Sunan Prawata telah menjadi babak akhir dari kejayaan Demak. Setelah kematian Sunan Prawata, pertarungan politik di Jawa berlanjut melalui dua tokoh utama, yakni Arya Panangsang dan Hadiwijaya.  Hadiwijaya yang bertahta di Pajang, melanjutkan kekuasaan politik Demak dengan mentahbiskan diri sebagai Sultan Pajang. Dikisahkan, Sultan Hadiwijaya (Raden Mas Karebet) membangun kekuatan dengan rival-rival politik Arya Panangsang yang lain. Salah satunya adalah iparnya sendiri, Ratu Kalinyamat yang berkuasa di Jepara. Saat itu, ia sedang menjalankan sumpahnya, yakni ritual bertapa di lereng Gunung Danaraja di utara Jepara. Ia bersumpah, ia akan bertapa sampai kematian suaminya, Sultan Hadlirin yang dibunuh oleh Arya Panangsang dapat dibalaskan. Kepada Sang Ratu, Sultan Hadiwijaya memintanya untuk mengakhiri pertapaannya. Namun, Sang Ratu tetap bersikeras untuk melanjutkan sumpahnya. Ia hanya akan mengakhiri sumpahnya, jika Hadiwijaya berhasil membunuh Arya Panangsang. 

Selain Makam Sunan Prawata dan istrinya, kompleks situs Prawata dipenuhi dengan situs-situs makam kuno lainnya. Beberapa tokoh yang lain yang dapat disebut adalah 1) Simbah Nyai Ageng Jati; 2) Simbah Kyai Wage; 3) Simbah Khalifah Prawata; 4) Syaikh Abdulrahman; 5) Simbah Kyai Candi; 6) Kyai Sorokobot; 7) Simbah Kyai Ronggo Wijoyo Delimo; 8) Simbah Kyai Sombo (Ki Sombo Abang); 9) Simbah Kyai Abdul Wahab; 10) Simbah Kyai Nur Said; 11) Simbah Kyai Tabek Merto; 12) Simbah Bagus Amir; 13) Simbah Kyai Lempong; 14) Simbah Bagus Pareanom; 15) Simbah Soreng Pati; 16) Simbah Kyai Ragil (Mas Wuragil); 17) Simbah Kyai Wosonoto; dan 18) Simbah Kyai Wisarti (Romdhoni, 2018: 95-97).