Versi pertama, Syaikh Jangkung atau Mbah Saridin adalah putra Ki Ageng Kiringan (Syaikh Abdullah Asyiq bin Abdul Syakur) bersama dengan Nyai Ageng Dewi Limaran (Nyai Ageng Kiringan) yang bertempat tinggal di Tayu, Pati. Menurut cerita, pasangan ini sudah lama tidak dikaruniai keturunan. Kondisi itu, mereka sampaikan kepada Sunan Muria, yang merupakan guru dari Ki Ageng Kiringan. Oleh Raden Umar Said, nama lain Sunan Muria, diminta bersabar dan mengamalkan doa khusus, hingga akhirnya diberikan anugerah seorang anak. Setelah sowan kepada Sunan Muria, dikisahkan, Nyai Ageng Kiringan bertemu dengan seorang kakek tua yang mengabarkan bahwa Allah telah merestui permohonannya dan tidak lama lagi, ia akan mendapatkan seorang anak laki-laki. Anak laki-laki itu, lalu diberi nama Saridin, yang berarti Sah dan Ridla, yakni telah sah dan mendapat ridla dari Allah Swt. (Swidarto via Ulum, 2017: 16).

Versi kedua, menyatakan bahwa Mbah Saridin adalah anak dari Dewi Samaran, istri dari Sunan Muria, kakak dari Sunan Kudus. Namun, Mbah Saridin bukan anak dari hubungan Sunan Muria dengan Dewi Samaran. Konon, sebelum mengandung Mbah Saridin, Dewi Samaran mendapatkan sebuah mimpi. Dalam mimpi itu, Dewi Samaran didatangi oleh seorang laki-laki gagah dan tampan, namun rambutnya sudah mulai beruban. Lalu, ia menceritakan mimpinya itu kepada sang suami, Sunan Muria, dan tidak lama ia pun mengandung. Peristiwa itu telah membuat Sunan Muria terpukul karena menyangka bahwa Dewi Samaran pastilah telah berbuat serong. Sunan Muria mengusir Dewi Samaran keluar dari Muria. Karena merasa ia tidak berbuat salah dan tidak berdaya, Dewi Samaran putus asa dan memutuskan untuk bunuh diri. Saat hendak bunuh diri, ia tiba-tiba ditemui oleh Sunan Kalijaga dan melarangnya untuk bunuh diri. Setelah melahirkan, Dewi Samaran memberikan sang bayi kepada Ki Ageng Kiringan, murid dari Sunan Muria untuk dirawat seperti halnya anak Ki Ageng Kiringan yang lain, Branjung. Lalu, alih-alih kembali ke Muria, Dewi Samaran terus berjalan ke pantai selatan (Abdurrahim via Ulum, 2017: 17). Senada dengan versi ini, pada masa berikutnya, Mbah Saridin dinikahkan dengan Dewi Sarini yang berasal dari Miyono, Pati dan dikaruniai seorang anak bernama Momok.

Versi ketiga, menyatakan bahwa Syaikh Jangkung adalah keturunan dari Syarifah Attaji (Rasmi) dengan Pangeran Syafi’i (Ki Ageng Natas Tuban). Menurut versi ini, Syaikh Jangkung atau Mbah Saridin bernama asli Sayid Syarifudin bin Syarif Syafi’i dari Singaparna, Jawa Barat. Ibunya, adalah Dewi Rasmi atau Dewi Sekar Tanjung, anak dari Datuk Amir, anak dari Sayid Hamzah, anak dari Ratu Ayu, anak dari Syarif Hidayatullah atau yang juga dikenal dengan nama Sunan Gunungjati. Sebagai keturunan ningrat dan ulama, Syaikh Jangkung turut mengembang amanah Sultan Cirebon untuk menumpas pemberontakan Trunajaya yang telah melakukan penculikan terhadap putri Sultan Cirebon, Ratu Pandan Arum (Mahmudi via Ulum, 2017: 18). Dari ketiga versi ini, versi ketiga dianggap mendekati kebenaran. Hal ini terutama jika dihubungkan dengan versi yang menyatakan bahwa Syaikh Jangkung atau Mbah Saridin menikah dengan kakak Sultan Agung, Retno Jinoli. Saat itu, dikisahkan, Sultan Agung telah berkuasa di Jawa pada 1591-1646.  

Sosok Mbah Saridin yang fenomenal sering kali dikaitkan dengan kisahnya ketika berguru dengan Pangeran Kudus (keturunan Sunan Kudus). Diceritakan, Syaikh Jangkung berguru pada Pangeran Kudus, setelah anak sulungnya, Momok, lahir dari perkawinannya dengan Dewi Sarini. Momok kecil, dititipkan pada kakak Syaikh Jangung, Nyai Branjung. Setelah menyatakan niatnya untuk berguru, Pangeran Kudus dengan senang hari menerimanya sebagai murid. Syaikh Jangkung mengutarakan niatnya untuk mencari ilmu suluk (tasawuf) kepada Pangeran Kudus. Di Kudus, Syaikh Jangkung mengabdi kepada Pangeran Kudus dengan mengisi air di kulah (kolam) untuk digunakan mandi dan berwudlu serta mengurus selokan. Hampir pasti, waktu-waktu Syaikh Jangkung selalu diisi dengan mengisi air, tanpa mengikuti pengajian yang diajarkan oleh Pangeran Kudus. Tatkala mengisi air, Syaikh Jangkung selalu menggunakan keranjang yang berlubang. Namun ajaib, air yang ada di keranjang tidak tumpah. Hal aneh lain adalah selokan yang ia bersihkan, selalu terdapat banyak ikan. Ia pun menyatakan kepada Pangeran Kudus, bahwa setiap sesuatu yang ada airnya, pasti ada ikannya.

Mendengar hal itu, Pangeran Kudus, sang guru, mencoba memberikan ujian kepada Mbah Saridin apakah di kendi yang dipegang oleh Pangeran Kudus saat itu juga terdapat ikan. Ternyata setelah dibuka, di dalam kendi terdapat ikan wader. Ketika ditanya sekali lagi apakah di dalam degan (kelapa muda) di tangan Pangeran Kudus juga terdapat ikan. Ternyata, setelah buah kelapa dibelah, terdapat ikan kutuk di dalamnya. Melihat tingkah sang murid, Pangeran Kudus merasa resah. Syaikh Jangkung dianggap pamer ilmu dan telah menyalahi aturan perguruan untuk tidak riya (pamer) terhadap ilmu yang dimiliki. Akhirnya, ketika Pangeran Kudus menguji Syaikh Jangkung kembali dengan pertanyaan mengenai tauhid dan apa itu syahadat, alih-alih menjawab, Syaikh Jangkung malah memanjat sebuah pohon kelapa yang tinggi lalu menjatuhkan diri. Setelah jatuh dari pohon kelapa yang tinggi dan selamat, barulah ia menjawab pertanyaan guru, inilah syahadat. Menurut Mbah Saridin, ia terjatuh dan tetap selamat adalah karena izin dari Allah Swt., dan inilah syahadat. Tindakan pamer kesaktian ini, membuat hari Pangeran Kudus, semakin tidak berkenan. Akibatnya, Mbah Saridin diusir dari perguruan. Kedua peristiwa yang berikaitan dengan buah kelapa ini, yakni buah kelapa yang berisi ikan dan jatuhnya Mbah Saridin dari pohon kelapa, diabadikan dengan ornamen seni dua buah kelapa hijau di pintu masuk makam (Wawancara dengan Damanhuri, Pengurus Makam Syaikh Jangkung Landoh, 23 Juli 2019).

Setelah diusir dari Kudus, Mbah Saridin lalu bertemu dengan Sunan Kalijaga (Syaikh Malaya) dan didaulat sebagai muridnya. Simbol dua buah kelapa juga dikaitkan dengan laku yang dilakukan oleh Mbah Saridin yang melakukan tirakat di lautan dengan menggunakan dua buah kelapa selama delapan tahun, perintah dari gurunya, Sunan Kalijaga. Tirakat yang disebut dengan tapa ngrombang ini ia lakukan sebagai syarat untuk mendapatkan ilmu hakikat. Dikisahkan, ia bertapa hingga memasuki wilayah laut Kasultanan Palembang. Saat itu, Palembang yang dipimpin oleh Pangeran Ratu sedang mengalami pageblug (musibah yang tidak kunjung berhenti). Mendengar ada seorang pertapa di wilayah perairannya, sang Pangeran memerintahkan pengawalnya untuk mencari sang pertapa sampai ketemu. Akhirnya, dengan karomah yang dimiliki, doa Mbah Saridin untuk menghilangkan musibah dari bumi Palembang dikabulkan oleh Allah Swt. Sang Pangeran sangat senang dan sebagai pengganti jasa, Mbah Saridin mendapat hadiah separuh kekuasannya (Serat Seh Jangkung via Ulum, 2017: 39-40).

Setelah tugas di Palembang selesai, Mbah Saridin kembali ke Jawa dan melanjutkan pertapaannya di pantai Cirebon. Saat itu, Kasultanan Cirebon juga sedang mengalami musibah yang berkepanjangan. Dalam samadi yang dilakukannya, Sultan Cirebon mendapat bisikan gaib, bahwa ia harus menemui seorang pertapa di Pantai Cirebon. Pada samadinya itu pula, Sultan Cirebon mendapat bisikan untuk menikahkan sang pertapa dengan putrinya, Ratu Pandan Arum. Akhirnya, doa dan tirakat Mbah Saridin untuk mengusir pageblug di wilayah Cirebon, dikabulkan oleh Allah Swt. Mbah Saridin juga menuruti keinginan sang Sultan untuk menikahi putrinya. Dari pernikahannya itu, Mbah Saridin dikaruniai seorang anak bernama Mukmin. Namun, hanya setelah 17 bulan usia Mukmin, sang Ratu meninggal dunia.

Nama Mbah Saridin yang berhasil mengusir pageblug di Cirebon begitu harum dan terdengar hingga Banten. Saat itu, Kasultanan Banten sedang mengalami kekacauan politik akibat perebutan kekuasaan setelah kematian Sultan Maulana Yusuf yang wafat pada 1589. Ketika Sultan meninggal, anak-anak sultan masih kecil. Akibatnya, Pangeran Jepara, yang mengklaim masih memiliki hak atas tahta, menuntut menjadi Sultan Banten. Akhirnya, Syaikh Jangkung atau Mbah Saridin diminta untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai. Setelah melalui berbagai proses yang panjang, Mbah Saridin akhirnya dapat meredam konflik yang terjadi. Atas jasanya itu, penguasa Banten berniat untuk memberikan imbalan kepada Mbah Saridin. Namun, niat itu ditolah oleh Mbah Saridin.

Setelah menyelesaikan pertikaian di Banten, Syaikh Jangkung melanjutkan pengembaraanya menyusuri Pantai Utara Jawa, hingga akhirnya sampai di sebuah wilayah di Kendal. Di sana, ia membangun sebuah perkampungan dan diberi nama Landoh. Di Kendal, ia mengajarkan agama Islam dengan tetap melanjutkan pertapaannya. Daerah tempatnya bertapa adalah rawa-rawa yang dikenal dengan nama Rawa Nglogung. Saat malam, ia akan bertapa di rawa itu dan saat siang ia kembali lagi ke kampung. Suatu malam, saat ia bertapa di rawa, ia mengeluarkan kesaktiannya untuk mengumpulkan semua hewan yang ada di hutan, mulai dari macan, ular, singa, menjangan, dan lain-lain. Kabar ini, telah membuat geger bumi Kendal hingga terdengar ke telinga penguasa Mataram. Sang penguasa Mataram saat itu, Sultan Agung, memerintahkan para pengawalnya untuk mencari tahu sosok Syaikh Jangkung dan membawanya ke Keraton Mataram di Yogya. Di Yogya, Syaikh Jangkung disambut dengan senang hati oleh Sultah Agung. Setiap malam, keduanya terlibat diskusi mengenai ilmu sejati dan semakin cocok. Untuk mempererat hubungan keduanya, Sultan Agung meminta Syaikh Jangkung untuk menikahi kakaknya, Retno Jinoli. Tidak hanya itu, Syaikh Jangkung bahkan diberi hadiah berupa wilayah Mataram, seperti Landoh, Miyona, Karingan, Pajenggotan, Satiabrit, Gadhu, Bonthos, Sukolilo, Kanthil, Karangsumber, Wanakusumo, Jrambah, Jember, Ngering, Dremaya, Thuwaran, Watulunyu, Krapyak, Mandhak, Widuri, Panjunan, dan Gebangonan. Ia pun mendapat gelar baru, yakni Panembahan, gelar yang akan diwarisi oleh para keturunannya pada masa berikutnya.

Setelah dirasa semua cukup, ia merasa harus meninggalkan keraton dan meneruskan pengembaraannya. Meskipun sang Sultan merasa berat hati, akhirnya ia pun mengabulkan keinginan Syaikh Jangkung. Atas ilham yang ia peroleh, Syaikh Jangkung memutuskan untuk pindah ke wilayah Kayen di Pati. Di sana, ia membangun kampung dan padepokan dengan nama yang sama saat di Kendal, yakni Landoh. Saat itu, wilayah Pati di bawah kekuasaan Adipati Kembangjoyo atau bergelar Wasis Joyokusumo.

Haul Syaikh Jangkung diperingati pada 15-16 Rajab. Pada malam-malam peringatan ini banyak peziarah berdatangan. Haul Syaikh Jangkung dimulai dengan acara ganti kelambu kemudian disusul dengan acara pengajian dan pasar malam. Pada saat haul Syaikh Jangkung inilah banyak pengunjung bukan hanya datang dari warga Pati, tetapi juga dari berbagai provinsi hingga mancanegara, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera, Malaysia hingga Singapura. Selain hari haul, makam Syaikh Jangkung dipadati pengunjung pada malam Jumat atau Kamis malam. Juru kunci sekaligus keturunan ke-11, Syaikh Jangkung, yaitu R.H. Damhari Panoto Jiwo, menyatakan, bahwa salah satu petilasan yang ditinggalkan oleh Syaikh Jangkung adalah sumur Ndonga (Tirta Usada/ air obat). Sumur itu, dahulu digunakan oleh Mbah Saridin (Syaikh Jangkung) untuk minum saat ia tidak diberi minum oleh orang kampung mengingat waktu itu benar-benar kemarau dan musim kekeringan. Dari peristiwa itu, Saridin menancapkan pusaka ke tanah lalu muncullah air.

Sebagai penyebar agama Islam, Syaikh Jangkung memiliki banyak ajaran yang berbentuk nasihat. Salah satunya adalah, “aja njikuk nek gak dikongkon, aja njaluk nek gak nggone”. Arti dari ajaran ini adalah jangan mengambil kalau tidak diperintah atau tidak mendapatkan izin dari yang punya, jangan pula meminta jika bukan miliknya. Syaikh Jangkung juga mengajarkan: “aja drengki, aja srei, aja tukar padu, aja dahwen kemeren, aja kutil jumput, aja bedhog colong”. Melalui ajaran tersebut, Syaikh Jangkung mengajarkan untuk mengedepankan kejujuran, keikhlasan, dan kemandirian. Syaikh Jangkung juga mengajarkan untuk tidak saling membenci, iri, dan senang bertengkar (Wawancara dengan Damanhuri, Juru Kunci Makam Syaikh Jangkung, 13 April 2019).