Mengenai asal dan sosok Syaikh Mutamakkin, terdapat banyak versi. Versi pertama, adalah versi K.H. Abdurrahman Wahid. Menurutnya, Syaik Mutamakkin berasal dari Zabul, Khurasan, Iran Selatan. Namun, masyarakat setempat meyakini versi kedua, yang menyatakan bahwa Syaikh Mutamakkin adalah seorang bangsawan Jawa. Menurut versi ini, dari garis ayah, Syaikh Mutamakkin adalah keturunan dari Raden Fatah, Sultan Demak I yang berasal dari anaknya, Sultan Trenggana. Dari garis ibu, ia adalah keturunan dari Sunan Bejagung di Tuban, Jawa Timur, melalui Sayid Ali Asghar anak dari Sayid Ali Akbar. Sayid Ali memiliki seorang putra bernama Raden Tanu, sedangkan Raden Tanu memiliki seorang putri yang menjadi ibu dari Mutamakkin. Syaikh Mutamakkin juga dipercaya keturunan dari Sultan Pajang, Raden Jaka Tingkir, cicit dari Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V. Ayah Syaikh Mutamakkin (Raden Sumohadijaya), adalah Pangeran Benawa II (Raden Sumahadinegara), putra dari Pangeran Benawa I (Raden Hadiningrat), putra dari Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya), putra dari Ki Ageng Pengging, putra dari Ratu Pembayun, putri dari Brawijaya V. Ratu Pembayun adalah saudara perempuan Raden Patah yang menikah dengan Ki Ageng Pengging Sepuh (Bizawie, 2014: 118).

Menurut perkiraan Zainul Milal Bizawie, Syaikh Mutamakkin lahir pada sekitar 1645 (Bizawie, 2014: 119). Ia dilahirkan di Desa Cebolek, 10 km dari Tuban. Oleh karena itulah, ia dikenal juga dengan nama Mbah Cebolek. Nama Al-Mutamakkin, yang berarti orang yang meneguhkan hati atau diyakini kesuciannya, sebetulnya adalah nama yang ia dapat setelah ia kembali dari Mekkah. Ia menghabiskan masa mudanya di Desa Cebolek, Tuban. Pada masa berikutnya, Syaikh Mutamakkin melakukan perjalanan intelektual ke Banten dan Timur Tengah. Ia sempat pula singgah di Tegal. Makam ayahnya, Pangeran Benawa II ada di wilayah ini. Bahkan, di daerah ini terdapat pula desa yang bernama Kajen. Setelah ia kembali dari Timur Tengah, tampaknya ia tidak kembali lagi ke Tuban, melainkan ke utara Pati, tepatnya ke wilayah Tayu. Di sini, ia kembali membangun sebuah pemukiman dan memberi nama yang sama dengan nama daerah asalnya, Cebolek.

Setelah cukup lama tinggal di Desa Cebolek, Pati, Syaikh Mutamakkin memutuskan untuk pindah dari desa ini. Saat itu, setelah selesai salat Isya’, ia  mendapat sebuah isyarat berupa seberkas cahaya dari sebelah barat. Setelah diselidiki, pagi harinya, setelah salat Asyar, diketahui cahaya itu berasal dari Desa Kajen. Desa ini dipimpin oleh Haji Samsudin atau Surya Alam. Melihat sosok Syaik Mutamakkin, Haji Samsudin lalu menyerahkan Desa Kajen (kaji ijen) kepadanya. Bahkan, ia menikahkan pula Syaikh Mutamakkin dengan anak putrinya, Nyai Qadimah. Bekas kediaman Haji Samsudin saat ini masih ada, yakni di sebelah utara Pesantren Mathali’ul Falah, sedangkan makam Haji Samsudin terletak di sebelah barat makam Syaikh Mutamakkin atau di sebelah selatan kolam (blumbang).

Di Kajen, Syaikh Mutamakkin melanjutkan kembali dakwah dan pengajaran Islam. Dari Kajen pula, sosok Syaikh Mutamakkin, kemudian dikenal sebagai sosok yang kontroversial. Sisi kontroversial Syaikh Mutamakkin sebenarnya didasari pada pemahaman keislamannya yang moderat dan cenderung dekat dan ramah terhadap tradisi lokal. Pemikiran tasawufnya menjadi salah satu pembangun tradisi Islam Jawa yang penuh kontroversi. Hal ini telah menempatkan Syaikh Mutamakkin satu level dengan Syaikh Siti Jenar, Sunan Panggung, dan Syaikh Among Raga. Keempatnya menjadi representasi dari tasawuf falsafi yang mewakili gerakan Islam esoteris vis a vis Islam syari’ah yang mewakili gerakan Islam eksoteris. Hal ini telah menciptakan perdebatan, pertikaian, hingga pengadilan. Ajaran Syaik Mutamakkin tidak jarang dianggap sesat dan tidak sejalan dengan syariat Islam.

Salah satu kasus cukup menyita perhatian adalah antara Syaikh Mutammakin dengan seorang tokoh ulama dari Kudus bernama Ketib Anom Kudus. Syaikh Mutamakkin adalah seorang ulama dan khatib (pengkhotbah), yang selain memiliki banyak pengetahuan mengenai ajaran-ajaran agama Islam juga memiliki pengetahuan luas mengenai tradisi mistik Jawa. Ia juga dikenal sebagai seorang seniman yang cakap bermain rebana, menjadi dhalang, dan seorang penari menak yang piawai. Diceritakan bahwa peristiwa ini bermula ketika Syaikh Mutammakin, disebut-sebut mengajarkan ilmu hakikat dan mengabaikan syariat. Banyak ulama berusaha keras agar ia jangan sampai merusak syariat, tetapi ia tetap tidak mau mengubah perbuatannya dan tidak takut terhadap hukuman raja. Bahkan, lama-kelamaan perbuatannya semakin bertambah nekad dengan menamakan kedua ekor anjingnya, Abdul Kahar dan Kamarudin, nama penghulu dan khatib di Tuban. Para ulama dengan dipimpin oleh Ketib Anom Kudus berangkat ke Kartasura untuk melaporkan perbuatan Syaikh Mutammakin tersebut kepada Sunan Amangkurat IV (memerintah dari 1719 sampai 1726). Akan tetapi, karena Sunan jatuh sakit, maka kasus ini ditunda sampai penobatan Susuhunan Paku Buwana II (memerintah dari 1726 sampai 1749).  Diceritakan bahwa Ketib Anom Kudus terlibat diskusi panjang dengan Syaikh Mutammakin ini (Soebardi, 2004).

Terlepas dari segala kontroversi mengenai sosoknya, Syaikh Mutamakkin pastilah seorang ulama yang kharismatik. Hal ini ditandai dengan makamnya yang tidak pernah sepi dari peziarah. Setiap hari, makamnya tidak pernah sepi dari peziarah, untuk sekadar berdoa, wisata, atau mencari berkah dari sosoknya yang diyakini sebagai wali, kekasih Allah Swt.