H.J. de Graff, dkk., dalam Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas dan Mitos (1998: 106-107), menyatakan bahwa dalam legenda Jawa, Jepara disebut memiliki usia lebih tua dibanding Semarang. Di Jepara pula, penduduk Jawa telah memiliki hubungan dengan orang-orang Cina Muslim Hanafiyah. Hal ini memberikan penjelasan kuatnya nuansa Cina pada arsitek dan ragam hias di Masjid Mantingan. Selain itu, sosok Sultan Hadlirin yang juga diyakini sebagai tokoh penyebar Islam bertenis Cina, memberi sebuah gambaran tentang eksistensi etnis ini dalam penyebaran Islam di Jawa. Menurut H.J. de Graff dan Pigeaud, Sultan Hadlirin adalah pendiri masjid sekaligus pendiri kota Jepara. Ia adalah seorang nakhoda kapal yang telah diislamkan oleh Sunan Kudus dengan gelar nama baru, yakni Raden Toyib, Raden Mukim, Rakit, alias Wintang. Ia menikah dengan salah seorang putri dari Sultan Trenggana. Setelah ayah mertuanya meninggal, ia disebutkan terlibat dalam polemik dan konflik politik di Demak bersama-sama dengan istrinya, Ratu Kalinyamat.

Seperti telah disebutkan di atas, menurut silsilah, Ratu Kalinyamat adalah anak dari Sultan Trenggana. Saudara sulung laki-lakinya, Raden Mukmin (Sunan Prawata, ayah Arya Pangiri), menggantikan Trenggana sebagai sultan Demak dan memindahkan pusat pemerintahan dari Bintara ke Prawata. Kalinyamat adalah putri kedua dari Sultan Trenggana. Putri pertama Sultan menikah dengan Pangeran Langgar (Adipati Sampang), putri kedua, yaitu Ratu Kalinyamat menikah dengan Pangeran Hadlirin (Adipati Jepara, juga penguasa Demak mewakili Arya Pangiri yang masih kecil), putri ketiga menikah dengan Pangeran Pasarean dan Pangeran Hasanudin, putri kelima menikah dengan Adipati Pajang (Sultan Hadiwijaya) Hadiwijaya berputra Pangeran Benawa, sedangkan putri bungsu Sultan, menikah dengan Pangeran Timur (Adipati Madura). Jirat kubur Makam Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin di Mantingan Jepara berada di dalam cungkup. Di dalam cungkup terdapat struktur kayu berukir dengan tiang ulir di atas jirat sebagai sampiran kain dan kelambu. Pada setiap 17 Robiul Awal dilakukan haul wafatnya Sultan Hadlirin dan ritual Ganti Luwur, yaitu prosesi pergantian kelambu kubur.

Lalu, siapakah Sultan Hadlirin? Sultan Hadlirin atau Pangeran Hadlirin adalah menantu Sultan Demak, sekaligus penguasa Jepara. Daerah kekuasaannya, meliputi Jepara, Juwana, Pati, dan Rembang (Veth, 1974: 249). Nama Kalinyamat, sebetulnya adalah julukan bagi Pangeran Hadliri, yaitu Susuhunan Kalinyamat, penguasa asli Jepara. Sementara istrinya, yang dikenal dengan nama Ratu Kalinyamat, sejatinya bernama Ratu Pembayun atau Retna Kencana. Kota pelabuhan Jepara diserahkan oleh Sultan Trenggana kepada menantunya itu pada 1536. Namun, sebagai akibat dari intrik politik perebutan kekuasaan, Sultan Hadlirin tewas terbunuh oleh anak Sultan Trenggana yang berkuasa di Jipang, Arya Panangsang (Hayati, dkk.: 2007: 63).

Konflik itu sebetulnya dimulai dari terbunuhnya Raden Kikin atau Pangeran Sekar, ayah Arya Panangsang oleh Raden Mukim (Sunan Prawata). Setelah Pangeran Sabrang Lor meninggal, Pangeran Sekar dibunuh di pinggir kali. Aktor intelektual dari pembunuhan ini adalah Raden Mukmin, anak Trenggana, yang membuatnya naik tahta. Bertahun kemudian Arya Panangsang membalas dendam kematian ayahnya dengan mengirim orang ke Prawata dan membunuh Sunan Prawata (Raden Mukmin) bersama isterinya. Pada 1549 M, setelah pulang meminta keadilan kepada Sunan Kudus yang berpihak ke Jipang, rombongan Ratu Kalinyamat diserang orang suruhan Arya Panangsang yang menewaskan Sultan Hadlirin. Kematian Sultan Hadlirin telah memunculkan dendam dan kekecewaan bagi Ratu Kalinyamat. Duka dan dendam menjadi satu, telah membulatkan tekad sang Ratu untuk menyepi, menjalani tirakat, memohon keadilan kepada Tuhan. Dikisahkan, ia bertapa “tapa wuda, sinjang rikma”, bertapa telanjang hanya ditutupi oleh rambutnya yang panjang, di Gunung Danaraja, Tulakan, sebelah utara Jepara. Ia bersumpah tidak akan berpakaian sebelum dapat menjadikan kepala Arya Panangsang sebagai alas kakinya, “ora pati-pati wudhar tapaningsun, yen durung keramas getihe Arya Panangsang lan kesed jembule” (Soebekti, 2001: 6).

Ia lalu meminta bantuan adik iparnya, Adipati Pajang, Raden Jaka Tingkir (Hadiwijaya). Setelah melalui sayembara yang dibuka oleh Sultan Pajang, Arya Panangsang akhirnya tewas oleh keris Kyai Setan Kober yang dicabutnya sendiri dan tidak sengaja memotong ususnya yang terburai setelah perutnya robek oleh tombak Kyai Plered Danang Sutawijaya. Setelah Arya Panangsang tewas, Ratu Kalinyamat pun bersedia turun dari pertapaannya untuk selanjutnya menggantikan kedudukan sang suami dan dinobatkan sebagai penguasa Jepara pada 10 April 1549, dengan sengkalan, Trus Karya Tataning Bumi. Tanggal itu kemudian setiap tahun diperingati sebagai Hari Jadi Jepara. Ratu Kalinyamat yang tidak memiliki putera kandung itu wafat pada sekitar 1579. Selain sang Sultan dan Ratu, di dalam cungkup, terdapat pula kubur ayah angkat Sultan Hadlirin bernama Tjie Hwio Gwan. Tokoh ini adalah tokoh yang berasal dari Cina dan bernama Abdurrahman. Ia adalah juga yang disebut dengan nama Patih Sungging Badar Duwung, guru yang mengajarkan seni ukir kayu kepada orang-orang Jepara. Ada juga jirat kubur garwa selir, dan Dewi Wuryan Retnowati, puteri angkatnya. Selir Sultan Hadlirin bernama Nyai Prodobinabar, asal Kudus (Wawancara dengan Sulasimin, Juru Kunci Makam Mantingan, 23 Juli 2019).

Setelah kematian sang suami dan dendam kematiannya terbalaskan, Ratu Kalinyamat melanjutkan kekuasaan sang suami. Selama masa kekuasaannya, Jepara berkembang menjadi bandar terbesar di Pantai Utara Jawa dan memiliki armada laut yang besar serta kuat (Meilink-Reolofsz, 1962: 102-117). Begitu besar sosok Ratu Kalinyamat, sampai Diego de Conto melukiskan sosoknya sebagai Rainha de Jepara senhora pederosa e rica, yang berarti Ratu Jepara, seorang wanita yang sangat berkuasa. Selama 30 tahun masa kekuasaannya, Ratu Kalinyamat berhasil membawa Jepara ke puncak kejayaannya. Armada lautnya yang kuat, pernah melakukan dua kali penyerangan kepada Portugis di Malaka, yaitu pada 1551 dan 1574. Kedua penyerangan itu dilakukan oleh Ratu Kalinyamat untuk membantu Sultan Johor dan Sultan Aceh untuk mengusir Portugis dari Malaka. Penyerangan pertama gagal, sedangkan penyerangan kedua, berhasil mengepung Malaka selama tiga bulan, meskipun akhirnya tidak dapat memenangkan penyerangan dan terpaksa kembali ke Jawa (Veth, 1974: 249: Graaf dan Pigeaud, 2001: 117-122).