Juru Kunci Makam Sunan Bonang di Rembang, Abdul Wahid, menyatakan bahwa makam Sunan Bonang yang asli ada di Rembang. Makamnya di Rembang, akan semakin ramai dikunjungi pada saat haul atau peringatan hari wafatnya yang dirayakan pada Rabu Legi atau Rabu Pahing di setiap bulan Dzulqo’dah. Pada waktu-waktu ini, orang akan banyak yang datang berziarah. Selain dikir, haul juga akan ditandai dengan penjamasan Bendhe Bicak, yakni berupa gong Jawa berukuran kecil yang dahulu sering dibunyikan oleh Sunan Bonang untuk mengumpulkan warga ketika ia berdakwah (Wawancara dengan Abdul Wahid, 13 April 2019). Terdapat empat versi lokasi makam Sunan Bonang, yaitu: Rembang, Tuban,  Cirebon, dan Pulau Bawean. Meskipun makam Sunan Bonang di Tuban adalah yang paling ramai dikunjungi oleh para peziarah dan dianggap sebagai makam yang asli, makam Sunan Bonang di Rembang juga menjadi daya tarik tersendiri.

Sunan Bonang atau Syaikh Makdum Ibrahim, lahir di Ampel, Surabaya dan hidup pada rentang 1465 hingga masa tuanya di Tuban pada 1525. Ia adalah anak dari Sunan Ampel dari istri yang bernama Dewi Candrawati. Ia adalah juga sepupu dari Sunan Kalijaga, salah seorang wali yang termasyhur di Jawa yang dikenal dengan sebutan pencipta gendhing yang pertama. Sebelum berdakwah di Jawa, Sunan Bonang menghabiskan waktu dengan menuntut ilmu di Samudra Pasai. Setelah selesai belajar di Pasai, ia mendirikan sebuah padepokan di wilayah Tuban. Lambat laun, pesantren yang ia bangun semakin dikenal dan didatangi oleh banyak santri dari berbagai penjuru Nusantara. Strategi yang khas, yakni memasukkan intisari ajaran Islam ke dalam tradisi dan budaya Jawa, telah menjadi kunci keberhasilan dakwahnya.

Salah satunya, adalah peranan Sunan Bonang dalam menggubah gamelan Jawa sebagai sarana dakwah Islam. Saat itu, masyarakat Jawa sangat kental sekali dengan estetika Hindu. Ia menjadi kreator gamelan Jawa sampai dengan menambahkan satu instrumen baru yang disebut Bonang. Sunan Bonang juga diyakini menggubah beberapa tembang Jawa yang syarat akan ajaran Islam dengan penuh nuansa dzikir yang mendorong kecintaan kepada kehidupan transedental. Tembang Tamba Ati misalnya, adalah salah satu tembang gubahan yang termasyhur di Jawa. Sunan Bonang juga adalah dhalang wayang kulit yang piawai. Bahkan, ia menggubah lakon dan memasukkan unsur-unsur Islam,  seperti perseteruan antara Pandhawa dan Kurawa yang ia tafsirkan kembali sebagai perseteruan antara Nafi (peniadaan) dengan Isbat (peneguhan). Ia juga dikenal menyusun berbagai macam suluk yang mengungkapkan pengalamannya dalam menempuh jalan tasawuf dan berbagai pokok ajaran tasawuf yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang ada di kebudayaan Arab, Persia, Melayu, dan Jawa. Suluk-suluk tersebut antara lain adalah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Suluk Latri, Suluk Linglung, Suluk Jebeng, dan Suluk Wregol. Sebuah karya prosa, seperti: Pitutur Sunan Bonang, yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan murid yang tekun, telah menjadi salah satu hasil karya Sunan Bonang yang brilian. Bentuk seperti ini, biasa ditemui dalam kehidupan sastra di Arab dan Persia.

Berbeda dari di Tuban, makam Sunan Bonang yang berada di Desa Bonang, Kecamatan Lasem, Rembang, penuh nuansa kesederhanaan. Bangunan pendopo, gerbang hingga pusara makam, terlihat sangat sederhana. Begitu pula, kompleks utama makam Sunan Bonang, yang tanpa nisan dan tanpa pelindung. Pagar tembok bercat putih mengelilingi area makam Sunan Bonang, dengan paduan warna hijau pada pintu-pintunya. Masuk ke area makam, diberi pagar tembok dengan pintu setinggi sekitar satu meter, sehingga para peziarah harus menundukkan badan ketika masuk. Pada area pusara makam, tidak jauh berbeda dengan makam pada umumnya. Gundukan tanah tepat di tengah lokasi ziarah, menunjukkan titik pusara makam. Tidak ada batu nisan, apalagi ornamen hiasan. Hanya ada dua tumbuhan yang tumbuh tepat di sisi atas maupun bawah gundukan. Di sekelilingnya, dipasang pagar untuk membatasi agar pusara makam tidak dijangkau langsung oleh peziarah. Juru kunci makam Sunan Bonang, Abdul Wachid, menuturkan bahwa bangunan dan pusara makam memang dibiarkan dalam kondisi alami sejak dahulu kala. Beberapa kali telah dilakukan rencana pembaharuan, namun selalu saja menemui kendala.