Menurut Babad Tanah Jawi (Meinsma, 1905; Olthoff, t.t.), Ki Ageng Selo adalah keturunan dari Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V. Prabu Brawijaya terakhir, disebutkan  beristri bernama Wandan Kuning. Dari sang putri ini, lahir seorang anak laki-laki yang dinamakan Bondan Kejawan. Karena menurut ramalan ahli nujum anak ini akan membunuh ayahnya, maka oleh raja, Bondan Kejawan dititipkan kepada Juru Sabin Raja yang juga dikenal saleh, Ki Buyut Masahar. Setelah dewasa, oleh raja ia diberikan kepada Ki Ageng Tarub untuk berguru agama Islam dan ilmu kesaktian. Oleh Ki Ageng Tarub, nama Bondan Kejawan diubah menjadi Lembu Peteng. Dia dikawinkan dengan putri Ki Ageng Tarub dan Dewi Nawangwulan, yang bernama Dewi Nawangsih. Setelah Ki Ageng Tarub atau Kidang Telangkas meninggal dunia, Lembu Peteng menggantikan kedudukan mertuanya itu dengan nama Ki Ageng Tarub II. Dari perkawinan antara Lembu Peteng dengan Nawangsih, lahirlah beberapa anak, antara lain adalah Ki Ageng Getas Pendowo dan seorang putri yang kawin dengan Ki Ageng Ngerang. Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh orang, yaitu: Ki Ageng Selo, Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purna, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, dan Nyai Ageng Adibaya. 

Anak sulung dari Ki Ageng Getas Pendowo (Raden Depok) itu, memiliki nama kecil Bagus Songgom. Semula, pada masa mudanya, oleh karena merasa keturunan raja, ia menjelma menjadi seorang pemuda yang sombong. Suatu ketika, Bagus Songgom mengadakan pergelaran wayang kulit dengan dhalang Ki Bicak. Istri Ki Bicak, yang juga menjadi penabuh gender, ternyata adalah sosok yang sangat cantik. Ki Ageng jatuh cinta pada Nyai Bicak dan untuk mendapatkannya, Kyai Bicak harus dibunuh. Setelah ia berhasil membunuh Ki Bicak, ia pun melanjutkan niatnya memperistri Nyai Bicak. Namun, saat melihat sebuah bendhe (gong kecil), hatinya tiba-tiba tertarik dan melupakan niatnya semula. Saat ketertarikannya semakin kuat, tiba-tiba Sunan Kalijaga datang menghampiri. Seolah tahu kebingungan yang dialami oleh Bagus Songgom, Sunan Kalijaga menjawab bendhe harus dirawat. Bila bendhe tersebut dipukul dan suaranya menggema, pertanda orang yang memukulnya akan menang perang. Akan tetapi, jika bendhe itu dipukul dan tidak berbunyi, maka pertanda kalah perang. Bendhe yang diberi nama Kyai Bicak ini kemudian menjadi pusaka Kerajaan Mataram.

Setelah melewati banyak kepahitan hidup, Bagus Songgom berubah menjadi pribadi yang senang bertapa dan hidup sederhana. Ki Ageng Selo memiliki kesenangan bertapa di hutan, gua, dan gunung sambil bertani dan menggarap sawah. Salah satu sawah yang ia garap, ia beri nama Subanlah, kependekaan dari istilah Subhanallah. Hal ini karena setiap kali ia menggarap sawah, ia selalu berdzikir dengan mengucapkan Subhanallah. Ki Ageng Selo adalah pribadi yang memiliki rasa sosial yang tinggi. Hasil sawah yang ia garap, ia bagikan kepada tetangga yang membutuhkan. Selain menjadi pertapa, Ki Ageng Selo juga memiliki pengetahuan Islam yang mumpuni. Ia menjalankan ajaran Imam Al-Ghazali dan Kanjeng Sunan Kalijaga untuk membagi waktu dalam satu hari, yakni 8 jam untuk bekerja, 8 jam untuk beribadah, dan 8 jam untuk beristirahat. Tidak heran, padepokan yang didirikannya di Selo, semakin banyak murid yang datang dari berbagai penjuru daerah. Salah satu muridnya adalah Raden Mas Karebet, Hadiwijaya, calon Sultan Pajang (Santoso, 2016: 155-156).

Seperti halnya gurunya, Sunan Kalijaga, Ki Ageng Selo adalah pribadi yang menyenangi bertapa (ber-khlawat). Suatu kali, dalam tapanya itu, Ki Ageng Selo, memohon kepada Tuhan agar dirinya dapat menurunkan raja-raja besar yang menguasai seluruh Jawa.

Kala semanten Ki Ageng sampun pitung dinten pitung dalu wonten gubug pagagan saler wetaning Tarub, ing wana Renceh. Ing wanci dalu Ki Ageng sare wonten ing ngriku, Ki Jaka Tingkir (Mas Karebet) tilem wonten ing dagan. Ki Ageng Sela dhateng wana nyangking kudhi, badhe babad. Kathinggal salebeting supeno Ki Jaka Tingkir sampun wonten ing Wana, Sastra sakhatahing kekajengan sampun sami rebah, kaseredan dhateng Ki Jaka Tingkir (Olthof, t.t.: 35 - 36).

Ki Ageng Selo memang telah mendapatkan mimpi perihal muridnya, Jaka Tingkir (Raden Mas Karebet). Mimpi Ki Ageng Selo ini dianggap sebagai pertanda, bahwa Jaka Tingkir akan mendapatkan wahyu sebagai raja tanah Jawa. Impian tersebut mengandung makna pula, bahwa atas kehendak takdir, usaha Ki Ageng Selo untuk dapat menurunkan raja-raja besar sudah didahului oleh Jaka Tingkir. Ki Ageng Selo tentu saja kecewa, namun akhirnya hatinya berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ia berpesan kepada Jaka Tingkir, Nanging thole, ing buri turunku kena nyambungi ing wahyumu (Dirdjosubroto, t.t.: 131). Ia meminta kepada Jaka Tingkir, agar keturunannya menyambung wahyu keprabon Hadiwijaya, sebagai raja Jawa. Permintaan ini dituruti oleh Jaka Tingkir (Santoso, 2016: 160). Ki Ageng Selo, memang telah mengalami berbagai macam kekecewaan. Salah satunya adalah kegagalannya menjadi prajurit Tamtama di Demak. Syarat seorang tamtama, harus bertarung dengan banteng liar. Hal ini sangat mudah bagi Ki Ageng Selo. Dengan hanya sekali pukul, kepala banteng itu hancur. Namun, dia merasa tidak tega dan memalingkan muka, ketika darah banteng itu muncrat mengenai wajahnya. Karena hal ini, Ki Ageng Selo gagal karena dianggap lemah menghadapi musuh (Santoso, 2016: 158-159).

Salah satu kisah menarik lain mengenai sosok Ki Ageng Selo, adalah kesaktiannya menangkap petir. Ketika itu, Sultan Demak III, Sultan Trenggana masih hidup. Seperti halnya hari-hari yang lain, hari itu, Ki Ageng Selo pergi ke sawah. Tiba-tiba, hari yang terik berubah sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak selang berapa lama, hujan turun dengan lebatnya disertai petir yang menyambar. Namun, Ki Ageng Selo tidak bergeming dan tetap melanjutkan kegiatannya menyangkul sawah. Tiba-tiba, datanglah petir (bledheg) menyambar Ki Ageng Selo dengan wujud seorang kakek-kakek. Dengan kesaktiannya, kakek yang tidak lain adalah perwujudan dari petir itu, cepat-cepat ia tangkap dan kemudian diikat di pohon gandri. Setelah selesai, ia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah dirasa cukup, ia pun pulang dengan membawa bledheg. Ia memiliki rencana, akan membawa bledheg itu kepada Sultan Demak. Oleh Sultan, bledheg itu ditaruh di dalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh di tengah alun-alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud bledheg itu. Ketika itu datanglah seorang nenek-nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek bledheg dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah suara menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek bledheg tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek bledheg hancur berantakan.

Sebagai seorang guru spiritual, Ki Ageng Selo banyak memberikan pesan dan petuah kepada anak keturunannya. Salah satunya adalah larangan bagi anak cucunya menanam waluh di depan rumah. Larangan ini dipicu oleh sebuah peristiwa. Saat itu, Ki Ageng Selo sedang menggendong anaknya di tengah tanaman waluh di halaman rumahnya. Tiba-tiba, datanglah orang gila dan mengamuk. Orang itu dapat ia bunuh, tetapi saat ia menyelamatkan anaknya, ia kesandung batang waluh dan jatuh telentang, sehingga kainnya lepas dan dia menjadi telanjang.

Ki Ageng Selo mempunyai putra tujuh orang, yaitu: Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Sobo (Wonosobo), Nyai Ageng Basri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki-laki bernama Ki Ageng Enis. Ki Ageng Enis, memiliki putra Ki Ageng Pamanahan yang kawin dengan putri sulung dari Ki Ageng Sobo, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Danang Sutawijaya. Sosok yang disebut terakhir ini, menjadi pendiri Kerajaan Mataram. Dikisahkan, Ki Ageng Pamanahan memiliki dua sahabat karib, yakni Ki Juru Martani dan Ki Penjawi, anak angkat Ki Ageng Enis. Mereka bertiga dipersaudarakan dan bersama-sama berguru kepada Sunan Kalijaga bersama dengan Sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Atas kehendak Sultan Pajang, Ki Ageng Enis diminta bertempat tinggal dan meninggal di dusun Lawiyan, sehingga ia dikenal juga dengan sebutan Ki Ageng Lawiyan.