Daerah kekuasaan Jipang pada masa itu, meliputi Bojonegoro, Pati, Lasem Rembang, dan Blora. Ketika pasukan utusan Jaka Tingkir (Hadiwijaya) berhasil merebut tahta Kesultanan Demak dan membunuh Arya Panangsang, hilanglah kedaulatan Kesultanan Demak lalu berdiri Kerajaan Pajang. Ada versi yang meyakini bahwa Arya Panangsang dimakamkan di Jipang, ada pula yang mempercayai bahwa makamnya berada di Kadilangu, Demak.

Arya Panangsang adalah putra dari Pangeran Sekar Seda Lepen, adik dari Sultan Demak II, Pangeran Pati Unus (Patih Yunus). Pangeran Sekar adalah juga anak kedua dari Raden Patah, raja pertama dan pendiri Kerajaan Demak. Pati Unus hanya sebentar menjadi raja di Demak, karena kemudian ia gugur ketika memimpin pasukan yang mencoba mengusir sepasukan bangsa Portugis yang menguasai Malaka. Pangeran Sekar Seda Lepen (Raden Kikin), adik kedua dari Pati Unus juga meninggal, setelah dibunuh oleh orang suruhan dari Raden Mukmin (Sunan Prawata). Kemudian, kedudukan Sultan Demak, diambil alih oleh Sultan Trenggana, anak ketiga dari Raden Patah. Anak dari Pangeran Sekar Seda Lepen, yang saat itu masih bayi, dirawat oleh Sunan Kudus dan dinamai Arya Panangsang. Hal ini karena saat ditemukan ia tersangkut pada tumbuhan di pinggir sungai. Setelah dewasa, Arya Panangsang menjadi Adipati Jipang dan berebut kekuasaan bekas Kerajaan Demak dengan Raja Pajang Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir yang memindahkan pusat Kerajaan Demak ke Pajang. Jaka Tingkir atau Mas Karebet atau Sultan Hadiwijaya ini merupakan menantu dari Sultan Trenggana. Adapun makam Arya Panangsang terdapat di Demak.

Arya Panangsang, memang murid kesayangan sang guru, Sunan Kudus. Saat Arya Panangsang bermusuhan dengan Sunan Prawata, sebagai imbas dari suksesi pemerintahan Kasultanan Demak yang tidak berjalan mulus, Sunan Kudus mendukung muridnya itu dengan gigih. Permusuhan dengan pengganti Sultan Trenggana ini terjadi, disebabkan oleh Pangeran Prawata yang mula-mula menjadi murid Sunan Kudus, kemudian mengakui Sunan Kalijaga sebagai gurunya. Diceritakan, bahwa Sunan Kudus memberi kuasa, muridnya yang paling dikasihi, Arya Panangsang di Jipang itu untuk membunuh Sunan Prawata, karena dianggap dosa karena telah memiliki dua guru sekaligus. Menurut Babad Tanah Jawi, Sunan Kudus memiliki tiga murid, yakni Arya Panangsang, Sunan Prawata, dan Sultan Pajang. Selanjutnya, Babad Tanah Jawi menceritakan percakapan antara Sunan Kudus dan Arya Panangsang tersebut sebagai berikut:

Soenan Koedoes ngandika dhateng arya Panangsang: “Wong ngalap-do goeroe ikoe oekoeme apa?” Arya Djipang matoer alon: “Oekoemipoen pinedjahan. Sarehning koela dereng soemerep, sinten ingkang gadah lampah mekaten poenika.” Soenan Koedoes ngandika: “Kakangmoe ing Prawata.” (Olthof, t.t.: 46).

Sunan Kudus bertanya kepada Arya Panangsang, apakah hukumnya orang yang memiliki dua guru sekaligus. Arya Panangsang menjawab dengan pelan, hukumnya mati. Namun, ia mengakui tidak mengetahui, siapa yang telah berbuat demikian. Lalu, Sunan Kudus menjawab kembali, kakakmu Prawata.       

Menurut cerita lain, Sunan Kudus, sebenarnya pernah ingin mendamaikan kembali, pertikaian antara Arya Panangsang dari Jipang dengan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) yang kelak menjadi Sultan Pajang. Dikisahkkan, Sunan Kudus memanggil Arya Panangsang dan Sultan Pajang. Lalu, kedua muridnya yang bertikai tersebut untuk menghadap ke Kudus. Mereka menghadap Sunan Kudus di pasowan. Meskipun, mediasi telah berusaha dilakukan oleh Sunan Kudus, namun konflik tidak dapat dihindarkan kembali.