Seperti telah disebutkan di muka, nama kecil R. Ng. Ranggawarsita adalah Bagus Burham (Burhan). Ia dilahirkan pada Senin Legi, 10 Dzulkaidah Be 1728 (1802 M), wuku sungsang, Dewi Sri, Wurukung Uwas, Mangsa Jita, Windu Sangsara. Ia adalah putra sulung M. Ng. Ranggawarsita abdi dalem Panewu Carik Kadipaten Anom atas perkawinannya dengan Mas Ajeng Ranggawarsita putri M. Ng. Sudira Dirjagantang, seorang yang dikenal memiliki kemampuan mencipta tembang macapat gaya Palaran (Komite Ranggawarsita, 1979: 11). Menurut silsilah dari pihak ayah, ia masih keturunan Pajang, yakni Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) di Pajang, berputra P. A. Arya Prabuwijaya (Pangeran Benawa), berputra P. Emas (Panembahan Radin), berputra Pangeran Harya Wiramenggala di Kajoran, berputra Pangeran Adipati Wiramenggala di Congkal Sewu, berputra Pangeran Harya Danupaya, berputra K.R.T. Padmanegara Bupati Pekalongan, berputra R. Ng. Yasadipura I pujangga Keraton Surakarta, berputra R. Ng. Ranggawarsita I atau R. Ng. Yasadipura II atau R.T. Sastranegara, berputra M. Ng. Ranggawarsita II, berputra Bagus Burham. Kakek Bagus Burham, yakni R. Ng. Yasadipura II adalah saudara seperguruan Kyai Imam Besari dari Ponorogo. Dari garis ibu, darah Demak mengalir di tubuhnya, yakni Sultan Trenggana (Sultan Demak II), berputra R.T. Mangkurat, berputra R.T. Sujana (Pangeran Karanggayan) abdi dalem pujangga di Pajang, berputra R.T. Wangsabaya Bupati Kartasura, berputra K.A. Wangsatruna, berputra K.A. Nayamenggala di Palar dan berpangkat Demang, berputra Ng. Suradirja I, berputra R. Ng. Suradirja II (Suradirja Gantang), berputra R. Ngt. Ranggawarsita II. Ia adalah ibu dari Bagus Burham (Any, 1980: 11).

Pada usia remaja, ia mendapat perintah dari kakeknya untuk berguru, mempelajari kesempurnaan membaca Al-Quran kepada Kyai Imam Besari di Pondok Tegalsari Ponorogo. Seperti disebutkan sebelumnya Kyai Imam Besari adalah saudara seperguruan R.T. Sastranegara. Selain dikenal sebagai ulama panutan di tanah Jawa, Kyai Imam Besari adalah menantu Sunan Paku Buwana IV. Oleh karena itulah, tidak mengherankan jika banyak anak para penewu, mantri, bahkan para putra gusti dan bangsawan yang berguru kepadanya (Komite Ranggawarsita, 1979: 13-14). Kyai Imam Besari dikenal juga dengan nama Kyai Hasan Besari. Ia adalah keturunan dari Kyai Agung Muhammad Besari, seorang ulama perintis sistem pesantren di Jawa. Pesantren Tegalsari yang dibangunnya pada pertengahan abad ke-18 disebut-sebut menjadi pesantren pertama di Jawa. Selain Bagus Burham, Pesantren Tegalsari juga melahirkan banyak tokoh pendiri pesantren. Beberapa yang dapat disebut misalnya adalah K.H. Abdul Mannan, pendiri Pesantren Termas di Pacitan dan K.H. Mujahid, pendiri Pesantren Sidoresman di Surabaya (Masyhuri, 2008: 4-11). Konon, Pesantren Tegalsari mengalami kejayaan pada masa kepemimpinan Kyai Hasan Besari (Masyhuri, 2008: 3).

Alih-alih menjadi santri yang rajin, di Pesantren Tegalsari, Bagus Burham sangat malas mengaji. Malah, ia lebih suka berjudi dan adu ayam. Mengadu ayam adalah pekerjaannya setiap hari. Akibat hobinya itu, ia pernah diusir dari Pesantren Tegalsari oleh Kyai Hasan Besari, meskipun akhirnya ia kembali ke pesantren setelah Kyai Hasan Besari mengirim utusan untuk menjemputnya. Akhirnya atas didikan serta Kyai Hasan Besari, ia menjadi manusia yang pandai di bidang keagamaan. Setelah hampir empat tahun ia belajar di Pesantren Tegalsari, ia kembali ke Surakarta. Oleh ayahnya, ia langsung dikirim ke Demak untuk belajar mengenai sastra Arab dan tasawuf kepada Pangeran Kadilangu (Any, 1979: 17). Pada usia 18 tahun, sebagaimana kebiasaan anak priyayi, ia mulai mengabdikan diri di keraton. Akan tetapi, tampaknya ia merasa tidak puas dengan pekerjaannya itu. Ia meninggalkan keraton, mengembara ke berbagai pelosok Jawa. Pengembaraan tersebut menempanya menjadi pribadi yang kritis dan peka dalam menghadapi berbagai persoalan. Ungkapan perasaannya itu, ia tampakkan dalam Serat Kalatidha (pupuh Sinom) sebagai berikut.

Mangkja daladjating pradja

kawurjan wun sunja ruri

rurah pangrehing ukara

karana tanpa palupi

atilar silastuti

sardjana sudjana kelu

kalunglun kalatida

tidem tandaning dumadi

ardajeng rat dening karoban rubeda

 

Ratune ratu utama

Patihe patih linuwih

Pra najaka tyas raharja

Panekare betjik-betjik

Parandene tan dadi

Palijasing kalabendu

Malah sangkin andadra

Rubeda kang ngriribedi

Beda-beda ardane wong sanagara (Ranggawarsita, 1959: 11)

Maksudnya kurang lebih, keadaan negara saat ini sudah semakin merosot. Keadaan tata negara telah rusak karena tidak ada yang dapat diikuti lagi. Sudah banyak yang meninggalkan aturan-aturan, sehingga orang pandai terbawa arus zaman keragu-raguan. Suasana mencekam itu pun karena dunia ini penuh dengan kerepotan. Sebenarnya rajanya termasuk raja yang baik, patihnya juga orang cerdik, bahkan semua anak buahnya berhati baik, pemuka-pemuka masyarakatnya pun baik. Akan tetapi, segalanya itu tidak menciptakan kebaikan, karena zaman Kala Bendu (zaman siksaan). Kerepotan-kerepotan semakin menjadi-jadi, lain orang lain pula pikiran dan maksudnya.

Di bawah kekuasaan Paku Buwana IV, atas usul Panembahan Buminata, ia diangkat sebagai Abdi Dalem Carik Kadipaten Anom dengan gelar Rangga Pajang Anom pada Senin Pahing 8 Sura Tahun Alip 1747 dengan sengkalan Amuji Suci Pandhitaning Ratu (28 Oktober 1819 Masehi). Setelah Paku Buwana IV wafat dan diganti oleh Pakubuwana V, ia mengalami kesulitan, sehingga karirnya sulit untuk dikembangkan (Komite Ranggawarsita, 1979: 97). Paku Buwana V tidak lama memegang kekuasaan. Ia berkuasa hanya selama tiga tahun dan wafat pada 29 Besar Tahun Je 1750 (1822 M). Oleh penerusnya, Paku Buwana VI, Ranggawarsita diangkat menjadi Panewu Sadasa Kadipaten Anom tahun 1754 (1826 M). Sementara itu, situasi dan kondisi Jawa banyak mempengaruhi kariernya. Ia banyak melihat penderitaan rakyat kecil karena tindakan Belanda. Jenderal Deandels dengan kerja paksanya membuat jalan besar dari Merak menuju Panarukan, menimbulkan bencana besar bagi rakyat. Daendels diganti oleh Jenderal Jansens pada 16 Mei 1811. Pada tahun yang sama, ia diganti dan Jawa akhirnya dikuasai oleh Inggris di bawah pimpinan Letnan Jenderal Thomas Stanford Rafles.

Ketika Belanda berkuasa kembali pada 1816 M di bawah Gubernur Jenderal Van Der Cappelen, kehidupan rakyat semakin tercekik. Pada waktu itu terjadilah kemelut Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro pada 1825-1830. Bersama-sama dengan Paku Buwana VI, Bagus Burham juga tampaknya bersimpati terhadap perjuangan Pangeran Diponegoro. Ia ikut mencari dana untuk diserahkan kepada rakyat yang kelaparan. Ketika Belanda mengetahui bahwa Paku Buwana VI ikut terlibat dalam perjuangan Pangeran Diponegoro, maka Belanda mengadakan penangkapan (Any, 1980: 39-42). Ayah Bagus Burham, M. Ng. Ranggawarsita juga ditangkap dan dibawa ke Batavia. Ia dianggap tahu akan hubungan Paku Buwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Setelah diinterogasi dan disiksa, ia tidak memberikan keterangan apapun. Akhirnya, Paku Buwana VI ditangkap dan dibuang ke Ambon (Tiknopranoto, t.t.t: 10).

Pengganti tahta kerajaan selanjutnya adalah Paku Buwana VII. Ia diangkat sebagai Raja Surakarta yang baru pada Tahun Jinawal 1757 (1830 M). Di bawah kekuasaan yang baru, Bagus Burham diangkat menjadi Panewu Carik Kadipaten Anom sebagai pengganti kedudukan ayahnya yang turut dibuang ke Batavia. Pada saat inilah, ia diketahui mulai memakai sebutan R. Ng. Ranggawarsita III dan karirnya mulai menanjak. Saat ini pula ia mulai mengembangkan karya-karya lewat beberapa tulisan, di antaranya: Wedyapradana (pengetahuan falak), Jayabaya (ramalan kejadian-kejadian di Pulau Jawa), Hidayat Jati (filsafat hakekat manusia terhadap Tuhan), Patilasan Kino ing Kediri (sejarah), Paramasastra (pengetahuan kesusastraan), Purwakaning Serat Pawukon (primbon), dan Babon Serat Pustakaraja (sejarah raja-raja) (Radyapustaka, “Pameran Buku Ranggawarsita”, Surakarta, 11 November 1953).

Atas usul Panembahan Buminoto, ia diangkat menjadi Kliwon Kadipaten Anom dan ditetapkan sebagai pujangga penutup Keraton Surakarta, pengganti nenek buyutnya Yasadipura I. Ia diangkat sebagai pujangga pada 12 Ruwah Jimawal 1773 (14 September 1845) yang ditandai dengn sengkalan Katon Pandito Sabdaning Ratu. Sejak saat itu, ia dikenal sebagai seorang pujangga dan ahli sastra, sehingga banyak para bangsawan pribumi dan Belanda yang berguru kepadanya, antara lain B.R.M. Harya Gondokusumo (K.G.P.A.A. Mangkunegara IV), BKT, Panji Dipokusumo, B.R.M. Panji Ismubrata, C.F. Winter, Fortier, Janson, dan Dowing (Any, 1980: 50).

R. Ng. Ranggawarsita juga aktif dalam penulisan di majalah. Melalui perkenalannya dengan Fortier, ia bersama-sama mendirikan majalah Jawa, Bramartani. Akan tetapi, karena dianggap merongrong kekuasaan raja (Paku Buwana IX waktu itu), kehidupannya tersendat-sendat. Hubungannya dengan pihak kekuasaan juga semakin jauh, karena ia dituduh mengikuti pola lama yang dilakukan oleh raja-raja sebelumnya. Meskipun konflik kerap timbul, tidak menggeser posisinya sebagai pujangga keraton. Ia selalu berusaha untuk melakukan pendekatan, meskipun seringkali pula tidak berhasil. Upaya pendekatannya dengan Pakubuwana IX dapat dilihat dalam serat Cemboret sebagai berikut.

Pangapusing pustaka sajekti

Saking karsa dalem sri narendra

Kang sanga mandireng

Surakarta prajagung

Sumbangengrat dibja dimurti

Martatama susanta

Santosa mbek sadu

Sadargeng galih legawa

Sihing wadja geng akit samja memuji

Raharjaning praja nata

Maksudnya kurang lebih, pembuatan karya sastra ini, adalah atas kehendak raja (Pakubuwana  IX) yang bertahta di negara besar Surakarta. Raja yang hebat, menonjol dan baik di dunia, berhati baik dan sentosa budinya serta murah hati, sehingga kecintaan baik rakyat kecil maupun bangsawan lainnya, semoa berdoa bagi keselamatan negara dan raja. Karena usaha pendekatannya terhadap Pakubuwana IX tidak berhasil, maka ia menuliskan lagi sebuah karya berjudul Zaman Edan, sebagai kritik terhadap keadaan pemerintahaan Surakarta sebagai berikut.

Amenangi jaman edan

Ewuh aja ing pambudi

Melu edan nora tahan

Jen tan melu anglakoni

Bo ja kadumen melik

Kaliren wekasanipun

Ndilalah karsa Allah

Begja-begjane kang lali

Luwih begja kang eling lawan waspada (Ranggawarsita, 1959: 12)

Maksudnya kurang lebih, hidup di dalam jaman edan ini memang repot, akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi jika tidak mengikuti gerak jaman tidak akan mendapat apa-apa, yang akhirnya menderita kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Allah, bagaimanapun juga orang yang lupa itu bahagia, lebih bahagia lagi bagi orang yang senantiasa ingat dan waspada.

Ia wafat pada 24 Desember 1873 dalam usia 71 tahun. Makamnya terletak di Desa Palar, Trutuk, Klaten. Sebelum wafat, ia sempat pula menulis karya sastra yang terakhir kali untuk wejangan terhadap anaknya. Karya ini terwujud dalam serat Pamoring Kawula Gusti. Sebagian bait dari karya tersebut adalah sebagai berikut.

Tuna dangkep kaulaning kapi

Pan kapiran jamaning akhirat

Sakarate yekti suwe

Suwe nuruti perlu

Perlu mati ngijeman delik

Kelike nora nana

Anane mung kuwur

Bawur tan wruh ing marga

Marga beda bedane tanpa pinikir

Mungkir ninggal agama

Maksudnya kurang lebih, orang yang hidupnya hanya mengabdi hawa nafsu serta mendustakan dan mengabaikan petunjuk-petunjuk agama, tidak mencari saat kematian yang baik, maka dalam hidupnya akan mengalami kesesatan dan akhirnya akan merugi. Orang-orang yang demikian itulah yang akan menderita, sehingga waktu sakaratul maut menjadi tersendat-sendat.

Cungkup makam pertama kali dipugar oleh Paheman Radya Pustaka Surakarta. Pemugaran ini ditandai dengan sengkalan pada pintu gapura masuk sebelah timur yang berbunyi sembahing rasa hangesti tunggal. Pemugaran kedua dilakukan pada tahun 1952, pada pemugaran ini makam ditinggikan dan bangunan cungkup diperluas seperti kondisi sekarang. Setelah pemugaran selesai kemudian diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada saat itu yaitu Prof. Suwandi.