Raden Mas Said adalah putra tertua Sunan Amangkurat IV (Paku Buwana I), penguasa Mataram-Kartasura. Sebagai keturunan raja, ia memiliki hak kedua setelah ayahnya, sebagai pewaris tahta. Namun, ayahnya yang secara politik, terang-terangan menunjukkan sikap anti-VOC, sikap yang sama dengan adiknya, Pangeran Mangkubumi, telah membuatnya menjadi musuh VOC. Bahkan, ayahnya, dibuang ke Ceylon (Srilanka) oleh VOC. Perjuangan Raden Mas Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Tionghoa di Kartasura pada 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi. Pemberontakan ini telah menyebabkan keraton Kartasura rusak parah. Raden Mas Said, oleh Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning, diangkat sebagai panglima perang dengan gelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur.

Pada usia 22 tahun, Raden Mas Said dinikahkan dengan Raden Ayu Inten, Puteri Pangeran Mangkubumi. Sejak saat itu, Raden Mas Said memiliki gelar baru, yakni Pangeran Adipati Mangkunegara Senapati Panata Baris Lelana Adikareng Nata. Adapun nama Mangkunegara, diambil dari nama ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura, yang dibuang Belanda ke Sri Langka. Raden Mas Said adalah seorang pejuang sejati. Ia terus menggolarakan perlawanan kepada ketidakadilan baik kepada Belanda maupun Mataram sendiri. Ia menganggap, kekuasaan Mataram adalah boneka VOC. Pasca-Perjanjian Giyanti pada 1755, ia berselisih paham dengan saudaranya, Pangeran Mangkubumi. Saat itu, Pangeran Mangkubumi telah mendapatkan jatah tanah di Yogyakarta dan mengangkat diri menjadi raja dengan gelar Sultan Hamengku Buwana I. Merasa ditinggalkan, ia berjuang sendirian. Ia melawan tiga kekuatan besar di Jawa, yakni VOC, pasukan Paku Buwana III, dan Hamengku Buwana I.

Raden Mas Said adalah petarung yang ulung. Ia memiliki semboyan tiji tibeh, yang merupakan kependekan dari mati siji, mati kabeh; mukti siji, mukti kabeh (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Semboyan ini telah meningkatkan moral pasukan, sehingga dari 250 kali peperangan, ia sering kali menang dan pasukannya susah dikalahkan. Dari ratusan perang yang ia pimpin, tiga perang dahsyat terjadi pada periode 1752-1757. Ia dan pasukannya yang militan disebut sebagai pasukan penyebar maut. Dari sinilah tampaknya, julukan Pangeran Sambernyawa itu berasal.

Tidak jauh dari Astana Mangadeg, adalah Astana Girilayu. Dalam Bahasa Jawa, Giri berarti gunung atau bukit, sedangkan layu, berarti mati. Kompleks ini adalah kompleks pemakaman para penguasa Mangkunegaran, mulai dari Mangkunegara IV, V, VII, dan VIII. Masing-masing memiliki museoleum sendiri-sendiri. Namun, di antara keempat sosok tersebut, bangunan Mangkunegara IV tampak paling menonjol dan megah.

Mangkunegara IV adalah penguasa terbesar Mangkunegaran setelah pendirinya, Mangkungara I. Nama aslinya adalah Raden Mas Sudiro. Sejak kecil ia dikenal sebagai anak yang cerdas dan pandai. Setelah mendapat gelar Pangeran namanya diubah menjadi Kangjeng Pangeran Harya Gandakusuma. Setelah Mangkunegara III wafat pada 1853, ia diangkat menjadi Mangkunagara IV. Di masanya, Mangkunegaran mengalami kejayaan. Ia disebut mendirikan pabrik gula di Colomadu. Bahkan, ia turut memprakarsai berdirinya Stasiun Solo Balapan. Selain sebagai penguasa, ia juga dikenal sebagai budayawan Jawa yang ulung. Ia produktif menciptakan piwulang dan beberapa komposisi musik gamelan. Salah satu karya serat piwulang-nya yang sangat populer adalah Serat Wedhatama, sedangkan salah satu karya gendhing-nya yang populer adalah Ketawang Puspawarna.