Ki Ageng Kebo Kenanga semula adalah adipati Pengging; suatu wilayah yang masuk dalam kekuasaan Kesultanan Demak. Di akhir kekuasaannya, Ki Ageng Kebo Kenanga meninggalkan Pengging untuk mencari ketenangan dan kedamaian batinnya. Bersama sang istri, Ki Ageng Butuh menuju ke arah timur dan sampailah di daerah yang masih berupa hutan, hanya ada beberapa penduduk yang tinggal di daerah itu. Ki Ageng Kebo Kenanga memutuskan untuk tinggal di situ dan memperkenalkan dirinya kepada penduduk dengan nama Butuh. Namun, lama kelamaan orang-orang kampung akhirnya mengetahui bahwa Ki Ageng Butuh adalah ayahanda Raden Mas Jaka Tingkir. Sejak saat itu Ki Ageng Butuh selalu didatangi orang, baik dari sekitar kampung maupun dari luar daerah. Di sini, Ki Ageng butuh mengajarkan kepada masyarakat pendidikan tentang ketuhanan dan kemasyarakatan (Wawancara dengan Muhammad Aziz, Juru Kunci Makam Butuh, Sragen, 23 Juni 2019).

Selain Ki Ageng Butuh atau Kebo Kenanga, anaknya, Jaka Tingkir atau Sultan Pajang Hadiwijaya juga dimakamkan di kompleks ini. Jaka Tingkir atau Raden Mas Karebet adalah penguasa Kasultanan Pajang, setelah ia memenangkan pertarungan akibat dari kemelut politik di Kasultanan Demak. Jaka Tingkir yang juga murid dari Sunan Kalijaga dan Ki Ageng Selo, mendapatkan wahyu menjadi raja, setelah ia mampu menggeser dan menghilangkan kekuasaan Arya Panangsang. Memang, setelah kematian Sunan Prawata yang tragis, Arya Panangsang, adalah rivalnya yang paling kuat. Setelah berhasil membunuh Sunan Prawata, Arya Panangsang beberapa kali mencoba melakukan pembunuhan kepada Hadiwijaya. Namun, niat itu selalu gagal. Arya Panangsang justru tewas, ditikam oleh tombak Kyai Pleret milik Danang Sutawijaya, setelah strategi yang disusun dengan apik oleh Ki Ageng Pamanahan, Ki Juru Mertani, dan Ki Penjawi. Strategi lahir sebagai respons atas sayembara yang dikeluarkan oleh Sultan Pajang, bahwa siapa pun yang berhasil membunuh Arya Panangsang, maka akan diberikan hadiah tanah di Mataram dan Pati. Ki Penjawi mendapatkan tanah Pati, sementara Ki Ageng Pamanahan mendapatkan tanah Mataram. Melalui anaknya, Danang Sutawijaya, Mataram muncul menjadi kekuatan politik baru di Jawa. Nama dan gelar Danang Sutawijaya pun berubah menjadi Panembahan Senapati.

Kembali ke Pajang, pendirian Kasultanan Pajang ini, telah mengawali kekuasaan politik di pedalaman Jawa. Sebagai saudara ipar, Sultan Pajang Hadiwijaya, juga mendapatkan dukungan dari Ratu Kalinyamat, penguasa Jepara. Babad Tanah Jawi, mengisahkan karier Jaka Tingkir sejak mengabdi di Demak, hingga menjadi raja. Dikisahkan, dalam perjalanan ke Kerajaan Demak, Jaka Tingkir menggunakan alat transportasi berupa gethek (rakit bambu), dengan ditemani oleh teman-teman seperguruannya, yakni Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil. Saat dalam perjalanan itu, rombongan Jaka Tingkir sampai di Kedhung Srengenge (kedung adalah bagian sungai yang dalam), diserang oleh segerombolan buaya. Jaka Tingkir yang sakti, dapat dengan mudah mengalahkan buaya-buaya tersebut dan sebagai tebusannya, buaya-buaya itu mengawalnya di sebelah kiri, kanan depan, dan belakang sebanyak masing-masing 40 ekor sampai di Keraton Demak.

Setelah sampai di Demak, Jaka Tingkir tinggal di rumah pamannya, Kyai Gandamustaka. Ia adalah saudara Nyi Ageng Tingkir yang menjadi perawat Masjid Demak dengan pangkat lurah ganjur. Oleh ayahnya, Kebo Kenanga, Jaka Tingkir memang dititipkan kepada Ki Ageng Tingkir sejak kecil. Dari sosok Ki Ageng Tingkir itulah, nama Tingkir disematkan pada Raden Mas Karebet. Suatu ketika, di Kerajaan Demak, terdapat peristiwa yang menarik perhatian Sultan Demak III, Sultan Trenggana. Saat itu, di istana Demak terdapat sebuah kolam yang cukup besar. Pada suatu hari ketika Jaka Tingkir sedang berdiri di tepian kolam, tiba-tiba pamannya berteriak agar Jaka Tingkir segera menyingkir dari tempatnya, karena Sultan Trenggana akan segera lewat. Situasinya saat itu cukup sulit bagi orang biasa untuk menyingkir, karena tidak ada ruang untuk menyingkir selain melompati kolam yang cukup lebar. Jaka Tingkir alias Raden Mas Karebet yang terlatih dengan sigap dengan mudah segera melompati kolam, agar tidak mengganggu jalannya Sultan Trenggana. Sultan Trenggana sangat terkesan melihat kejadian tersebut, sehingga ia diangkat menjadi kepala prajurit Demak dengan pangkat lurah wiratamtama.

Salah satu tugas Jaka Tingkir sebagai lurah wiratamtama, adalah menyeleksi penerimaan prajurit baru. Dikisahkan, ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang suka pamer kesaktian. Jaka Tingkir menguji kesaktian sang prajurit baru dan berujung pada tewasnya Dadungawuk, dengan menggunakan Sadak Kinang. Akibat peristiwa ini, Jaka Tingkir pun dipecat dari dinas ketentaraan dan diusir dari Demak. Versi lain mengisahkan bahwa kisah Dadungawuk adalah kisah kiasan. Saat itu, Sultan Trenggana mempunyai seorang putri cantik bernama Putri Cempaka. Secara diam-diam, Jaka Tingkir menjalin hubungan dengan Putri Cempaka. Tindakan ini akhirnya diketahui oleh Sultan dan mengakibatkan Jaka Tingkir diusir dari Kerajaan Demak. Sementara versi lain mengisahkan, bahwa pada suatu hari Sultan Trenggana sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawata. Jaka Tingkir melepas seekor kerbau yang dinamakan sebagai Kebo Danu. Oleh Jaka Tingkir, Kebo Danu diberi tanah pada kedua telinganya, sehingga kerbau merasa tidak nyaman dan mengamuk. Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan raja, di mana tidak ada prajurit yang mampu menaklukan si kerbau. Akhirnya, Sultan Trenggana memerintahkan bala tentaranya untuk mencari Jaka Tingkir yang diharapkan dapat menaklukan kerbau tersebut. Jaka Tingkir diketemukan dan tampil menghadapi kerbau yang mengamuk. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu, Trenggana mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama. Atas jasanya pula, Jaka Tingkir dinikahkan dengan salah satu putri Sultan Demak.

Setelah Sultan Trenggana wafat, prahara mulai berkecamuk di Demak. Sunan Prawata, anak dari Sultan Trenggana, yang sekaligus saudara ipar Jaka Tingkir, memilih untuk mendalami agama, sebagai guru suci di Prawata dan meninggalkan dunia politik. Sebenarnya, Sunan Prawata atau Raden Mukmin, berambisi untuk meneruskan kekuasaan politik ayahnya. Namun, bakat dan hasratnya tidak pada dunia politik. Untuk melanjutkan kekuasaan politik, alih-alih memilih Arya Panangsang, saudara sepupunya, Prawata memilih Jaka Tingkir atau Hadiwijaya sebagai penguasa baru. Keputusan Prawata yang sepihak itu, tentu membuat marah Arya Panangsang. Dendam kematian ayahnya, Pangeran Sekar Seda Lepen dan keputusan yang dianggap tidak adil, membulatkan tekad Arya Panangsang untuk menghabisi Sunan Prawata. Sunan Prawata tewas secara tragis oleh Arya Panangsang. Hal ini membuat saudaranya di Jepara, Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin, menemui Sunan Kudus dan menuntut keadilan. Namun, keduanya tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Malang, rombongan dari Jepara itu dicegat oleh pasukan pengawal Arya Panangsang, yang mengakibatkan Sultan Hadlirin tewas. Diselimuti kekecewaan dan dendam, Ratu Kalinyamat memutuskan untuk bertapa sampai pembunuhan suaminya dapat terbalas. Saudara iparnya yang iba akan keputusan Ratu Kalinyamat, yakni Hadiwijaya, membujuk sang ratu untuk menyudahi sumpahnya. Namun, sumpah sudah terlanjur diucapkan. Sang Ratu hanya mau menyudahi sumpahnya, jika Arya Panangsang terbunuh. Sang Ratu berjanji akan memberikan harta dan kekuasaan kepada siapa pun yang mampu membunuh Arya Panangsang.

Mendengar keinginan Ratu Kalinyamat, Hadiwijaya yang telah menahbiskan dirinya sebagai raja baru di Jawa, Sultan Pajang, membuka sayembara. Sayembara ini bahkan ditujukan kepada siapa pun, meskipun ia adalah petani dan tukang rumput. Siapa pun ia yang dapat membunuh Arya Panangsang, akan mendapatkan tanah di Pati dan Mataram. Sayembara itu, akhirnya dimenangkan oleh Danang Sutawijaya. Namun, oleh Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Mertani, jika nama Danang Sutawijaya yang dimunculkan, maka hadiah tanah dikhawatirkan tidak terwujud dan hanya diganti dengan pakaian yang bagus-bagus saja. Hal ini karena, Danang Sutawijaya adalah anak angkat dari Hadiwijaya. Setiap kali ditagih oleh Ki Ageng Pamanahan, Hadiwijaya selalu mangkir dengan alasan akan dicarikan tanah baru yang lebih luas  dan tertata. Keputusan Hadiwijaya untuk membatalkan hadiah tanah Mataram ini, sebetulnya karena Hadiwijaya meyakini ramalan kanjeng Sunan Giri, bahwa di tanah Mataram nanti akan lahir kerajaan besar yang akan menguasai tanah Jawa dengan sangat lama. Akhirnya, setelah cukup lama dan didesak oleh para penasihat kerajaan serta teguran dari Sunan Kalijaga, Hadiwijaya memberikan hadiah tanah Mataram kepada Ki Ageng Pamanahan dan keturunanannya. Setelah dibuka oleh Ki Ageng Pamanahan, tanah Mataram yang subur menjadi semakin maju dan berkembang. Bahkan, ia lebih besar dari Pajang. Menyadari janji Ratu Kalinyamat, Ki Ageng Pamanahan menyempatkan diri untuk singgah di Jepara. Di Jepara, Ki Ageng Pamanahan dan Danang Sutawijaya mendapatkan pusaka-pusaka kerajaan Ratu Kalinyamat, sebuah simbol dukungan politis terhadap penguasa baru.

Sementara itu, Pajang menjadi semakin kecil pengaruhnya. Sultan Pajang Hadiwijaya semakin menua dan tidak memiliki keturunan yang setangguh dirinya. Agaknya benar ramalan Sunan Giri itu. Mataram muncul sebagai kekuatan politik baru di Jawa. Setelah menjadi Sultan Pajang kurang lebih selama 40 tahun, Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir menanggalkan kekuasaannya dan ingin mendekatkan diri kepada Sang Maha Penguasa. Kemudian, ia pergi ke dusun orang tuanya yang berada di tepi Sungai Bengawan Solo, yaitu Dusun Butuh. Di Butuh, Sultan Hadiwijaya menghabiskan sisa umurnya untuk mendapatkan ketenangan jiwa dengan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Ia meninggal dan dimakamkan satu kompleks bersama kedua orang tuanya.

Selain Ki Ageng Kebo Kenanga dan Sultan Hadiwijaya, terdapat tokoh-tokoh lain yang dimakamkan di kompleks ini. Tokoh-tokoh tersebut adalah Nyi Ageng Kebo Kenanga; Kanjeng Pangeran Benawa; Kanjeng Pangeran Monco Negoro; Kanjeng Tumenggung Wilomarto; Kanjeng Tumenggung Wuragil; Kanjeng Pangeran Tedjowulan; Kanjeng Radeng Tumenggung Kadilangu; Kanjeng Pangeran Harya Sinawung; Kanjeng Raden Adi Negoro; Garwo Kanjeng Raden Adi Negoro; Raden Ayu Pagedongan; Raden Ayu Kodok Ijo; Ki Ageng Ngerang; Nyi Ageng Ngerang; dan Kanjeng Pangeran Harya Mas Demang Brang Wetan.