Menurut Babad Tanah Jawi, Sunan Katong berasal dari Ponorogo dan bergelar Pangeran Adipati Ponorogo. Ia adalah juga cucu dari Bathoro Katong, anak dari Brawijaya V. Menurut Moelyadi yang dikutip oleh Pramono (2006: 4-5), Bathoro Katong adalah anak dari Brawijaya V dengan Putri Bagelen. Bathoro Katong atau Raden Katong atau Lembu Kanigoro adalah anak kedua dari pasangan ini, sedangkan putranya yang lain bernama Raden Lembu Kenanga atau Raden Jaran Panoleh, bermukim di Madura. Raden Katong diutus oleh sang ayah ke Ponorogo dan menjadi Adipati di sana. Senada dengan versi ini, Raden Katong atau Panembahan Raden Bathoro Katong atau yang dikenal juga dengan nama Jaka Piturun, adalah anak Brawijaya V yang ke-20. Adapun gelar Bathoro, diperoleh dari dua versi. Pertama, pemberian Ki Ageng Prana atau Bhre Pandan Alas atau dikenal juga dengan nama Brawijaya IV yang berkuasa di Majapahit pada 1466-1468 melalui wangsit yang ia peroleh ketika bertapa di Telaga Ngebel. Kedua, adalah pemberian Sunan Kalijaga.

Sosok Sunan Katong tidak dapat dilepaskan dari Ki Pandan Aran, yang berkuasa di Semarang. Keduanya, baik Sunan Katong atau Pangeran Adipati Ponorogo dan Ki Ageng Mode Pandan (Ki Ageng Pandan Aran) adalah anak dari Adipati Unus, penguasa Demak II. Setelah kematian sang ayah, Demak dipimpin oleh anak dari Raden Patah yang lain, yakni Sultan Trenggana. Hal ini karena Pati Unus bukanlah anak kandung, melainkan anak menantu Sultan Fatah, sehingga ia dan keturunannya tidak berhak menduduki tahta Demak. Setelah Sultan Trenggana naik tahta, keduanya, memilih untuk mensyiarkan agama Islam. Selain kakak-beradik, hubungan keduanya adalah guru dan murid. Dikisahkan bahwa setelah Ki Ageng Mode Pandan memilih untuk berdakwah dan menetap di Pulau Tirang (Semarang saat ini), Pangeran Adipati Ponorogo memutuskan untuk mengikuti dan belajar kepada saudaranya itu. Pada masa berikutnya, Sunan Katong memilih untuk pindah ke Kaliwungu, di barat Semarang. Hubungan ini menandakan kaitan antara sejarah Demak Bintara dengan Ponorogo (Wengker), yang pernah menjadi pusat kekuasaan Majapahit pada 1466. Saat itu, Wengker dikuasai oleh Hyang Purwa Wisesa, putra Prabu Kertawijaya, saudara satu ayah kakeknya, Bathoro Katong (Rochani, 2015: 10,11,17).

Hubungan antara Sunan Katong dan Ki Ageng Pandanaran semakin kuat, saat putri dari Sunan Katong, yakni Nyai Ageng Kaliwungu dinikahkan dengan putra Ki Ageng Pandanaran, yaitu Pangeran Kasepuhan. Pangeran Kasepuhan ini, menjadi penguasa Semarang, melanjutkan sang ayah dan dilantik oleh Sultan Pajang pada 2 Mei 1547. Tak lama setelah ia menjabat sebagai bupati, Ki Ageng Pandanaran meninggalkan Semarang dan pindah ke Gunung Jabalkat, di daerah Tembayat, Klaten pada 1553. Di sana, ia menjadi pensyiar agama Islam yang termasyhur dengan nama Sunan Bayat. Selain kepada saudaranya, Sunan Katong diyakini berguru pada Ki Ageng Mirah, murid dari Sunan Kalijaga. Ki Ageng Mirah adalah anak dari Ki Ageng Gribig.

Sosok Sunan Katong juga tidak dapat dipisahkan dari nama Kaliwungu. Dikisahkan, ia diperintahkan oleh Ki Ageng Pandanaran Sepuh untuk berangkat dari Tirang (Semarang) ke arah barat. Di sana, ia bertugas untuk menjaga stabilitas Kerajaan Demak dari rongrongan pemberontak. Salah satunya adalah Tumenggung Gondokusumo. Sosok yang disebut terakhir ini, dicurigai telah terpapar ajaran Syaikh Siti Jenar tentang wahdatul wujud atau manunggaling kawula gusti. Selain karena ajaran Syaikh Siti Jenar yang dianggap sesat oleh penguasa Demak dan para wali yang lain, Tumenggung Gondokusumo yang juga dikenal dengan nama Wiramenggala atau Suramenggala, memiliki potensi untuk menentang segala kebijakan Sultan Trenggana, seperti halnya Sunan Panggung dan Ki Ageng Pengging (Rochani, 2015: 29). 

Saat menuju Kendal, Sunan Katong merasa lelah dan beristirahat di suatu tempat, setelah melewati perjalanan yang melelahkan. Dengan dijaga oleh para pengawalnya, Sunan Katong tiduran di bawah sebuah pohon berwarna ungu yang letaknya di tepi sungai (kali). Dari nama kali dan ungu inilah, wilayah tempat Sunan Katong beristirahat tersebut kemudian dinamai dengan Kaliwungu. Sementara sungai di dekat tempat Sunan Katong tidur (sare) itu, kemudian dinamai dengan nama Sungai Sarean. Selain versi di atas, terdapat juga versi lain mengenai sejarah nama Kaliwungu. Hal itu dihubungkan dengan sosok Sunan Katong dan Empu Pakuwaja. Empu Pakuwaja adalah musuh Sunan Katong yang sangat kuat. Keduanya, dikisahkan terlibat perkelahian yang sengit yang mengakibatkan keduanya tewas. Darah kedua tokoh itu mengalir seperti mengalirnya air sungai dan berwarna ungu (darah putih bercampur darah merah kehitam-hitaman) (Rochani, 2003: 152).

Perkelahian itu bermula dari sebuah kesalahpahaman yang diawali oleh kemarahan Empu Pakuwaja. Saat itu, salah satu anak dari Empu Pakuwaja tidak mau menuruti perintahnya, dan memilih melarikan diri memohon perlindungan kepada Sunan Katong. Melihat ada orang berani melindungi anaknya, Empu Pakuwaja menantangnya berduel, tanpa tahu bahwa orang yang diajaknya berduel adalah gurunya sendiri, Sunan Katong. Lalu, dicabutlah Keris milik Empu Pakuwaja (keris nagasasra milik Sunan Katong yang diberikan kepada muridnya, Empu Pakuwaja) dan dihunuskan ke tubuh Sunan Katong. Setelah menyadari kesalahannya, Empu Pakuwaja bersujud dan memohon maaf. Selanjutnya, Sunan Katong mencabut keris dari tubuhnya dan ditusukkan ke tubuh Empu Pakuwaja. Keduanya tewas bersimbah darah putih bercampur darah merah kehitam-hitaman (ungu) yang mengalir deras seperti sungai (Rochani, 2015: 22-23).

Mengenai nama Astana Kuntul Nglayang juga dikaitkan dengan perintah Ki Ageng Pandanaran Sepuh yang menyatakan bahwa Sunan Katong harus telapak kuntul yang terbang melayang. Isyarat ini persis dengan pegunungan Penjor, kompleks pemakaman Protomulyo. Demikian informasi dari Rochani dalam bukunya berjudul Babad Tanah Kendal (2003: 153). Di ujung barat, yang disebut sebagai letak kepala burung kuntul adalah makam leluhur Mataram dari keturunan Panembahan Djoeminah, seperti Panembahan Djoeminah Putra Panembahan Senapati Sutawijaya; serta para Bupati Kendal, seperti: Kanjeng Raden Tumenggung Ronggo Hadimenggolo I, Bupati Kaliwungu; Kanjeng Raden Tumenggung Ronggo Hadimenggolo II, Bupati Kaliwungu; Kanjeng Raden Tumenggung Ronggo Hadimenggolo III, Bupati Kaliwungu; Kanjeng Raden Tumenggung Ronggo Hadimenggolo IV, Bupati Kaliwungu; Kanjeng Raden Tumenggung Ronggo Ronodiwiryo, Bupati Batang; Kanjeng Raden Tumenggung Hadinegoro, Bupati Kaliwungu dan Demak; Kanjeng Raden Tumenggung Sumodiwiryo, Bupati Kaliwungu; Raden Tumenggung Reksonegoro; Kanjeng Raden Tumenggung Hadinegoro, Bupati Demak, dan lain-lain.

Sementara pada bagian dada, ditempati oleh Kanjeng Sunan Katong keturunan Prabu Brawijaya dari Majapahit, bersama dengan Raden Tumenggung Notohamijoyo, Bupati Kendal; Raden Tumenggung Notohamiprojo, Bupati Kendal; Raden Mas Arinotoprojo, Bupati Kendal; Raden Mas Notonagoro, Bupati Kendal, dan lain-lain. Pada bagian sayap kiri, ditempati antara lain: Raden Tumenggung Mandurarejo, Bupati Pekalongan; Kyai Asy’ari atau Kyai Guru; dan Kyai Puger atau Kyai Pakpak atau Kyai Papak, dan lain-lain. Pada bagian sayap kanan ditempati antara lain: Kyai Haji Rukyatullah; Kyai Haji (wali) Musyafak; Kyai Haji Musthofa; Kyai Haji Abu Choir; Drs. H. Djoemadi, Bupati Kendal ke-36, dan lain-lain. Pada bagian ekor, ditempati makam Empu Pakuwaja.