Selain Sunan Bonang dan Syaikh Jumadil Kubra, Syaikh Maulana Maghribi adalah sosok yang makamnya tersebar di banyak tempat. Selain di Wonobodro, makam Syaikh Maulana Maghribi terdapat pula di Gresik; di Ujungnegoro, Tulis, Batang; Karanganyar; Boyolali; dan Parangtriris, Yogyakarta. Sosoknya juga selalu dikacaukan dengan Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau Ibrahim As-Samarqandi. Menurut Sunyoto (2012: 64), Syaikh Maulana Malik Ibrahim dan Syaikh Maulana Maghribi adalah dua sosok yang berbeda. Meskipun sosoknya diliputi misteri, mayoritas versi mengakui bahwa Syaikh Maulana Maghribi adalah generasi wali, penyebar Islam di Jawa sebelum era Walisongo. Nama Maghribi selalu dikaitkan dengan sebutan Arab mengenai wilayah Maroko. Nama ini juga memiliki indikasi nama seseorang yang berasal dari luar (ulama asing), yang umumnya pula digunakan untuk menyebut para sayid dari Hadramaut.

Syeikh Maulana Maghribi merupakan salah satu penyebar Islam generasi pertama. Ia hadir di Nusantara jauh sebelum para Walisongo mendakwahkan Islam secara sistematis dan terstruktur. Dari namanya diyakini ia berasal daerah Maghrib, atau Maroko di Benua Afrika bagian Utara. Ia merupakan bagian dari Angkatan ke-1 (1404-1435 M), para wali yang terdiri atas Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubra, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Maulana Malik Isra’il (wafat 1435), Maulana Muhammad Ali Akbar (wafat 1435), Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan Syaikh Subakir atau juga disebut Syaikh Muhammad Al-Baqir. Di Nusantara banyak sekali yang dianggap makam-makam dari Syaikh Maulana Maghribi, di antaranya di Cirebon, di Parangtritis Yogyakarta, di Wonobodro dan Ujungnegoro di Batang, di Pantaran Boyolali, di Bayat Klaten, di Pekalongan di Tuban, dan di Gresik.

Spekulasi mulai bermunculan mengenai sosok ini. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa Syaikh Maulana Maghribi sebenarnya adalah satu orang yang sama. Oleh karena masyarakat begitu memuliakan dan mengenang Syekh Maulana Maghribi, maka petilasan-petilasan yang dilaluinya diberi tanda, berupa tugu atau bangunan atau kijing. Kedua, Syekh Maulana Maghribi adalah nama sebuah kelompok pendakwah (tim), dan oleh karenanya lebih dari satu. Versi ini berpendapat bahwa tidak hanya satu orang saja yang datang dari Maghrib atau Maroko yang mendakwahkan Islam ke Jawa dan Nusantara umumnya. Versi ini juga memberikan kemungkinan, bahwa kelompok ulama asal negeri Maghrib itu berada pada rentang usia yang sama, atau pun guru-murid beliau, atau orang-orang dari generasi sesudahnya. Berdasar pada informasi dari juru kunci, Syekh Maulana Maghribi dimakamkan di Wonobodro, kurang lebih 600 tahun yang lalu. Hal ini didasarkan pada perkiraan terhadap usia  sebuah pohon besar di sekitar makam. Pohon tersebut dinamakan Pohon Jlamprang, yang biasa digunakan sebagai tanda (tetenger). Penampakan urat-urat pada kayu dan garis-garisnya yang menonjol, melalui lingkaran dari lapisan kayu dapat diprediksikan bahwa pohon tersebut diperkirakan berusia 600 tahun (Wawancara dengan Mukhlisin, Juru Kunci Makam Wonobodro, 16 Juni 2019).

Mengenai nama Syaikh Subakir sebagai salah satu dari generasi pertama wali tanah Jawa, juga ditemukan di kompleks makam ini. Makamnya, ada di dekat makam Ki Ageng Pekalongan. Syaikh Subakir atau Syaikh Muhammad Al-Baqir adalah ulama besar dari Persia. Namanya secara lengkap adalah Sayid Samsudin Muhammad Al-Baqir Al-Farsi. Ia bersama-sama dengan Syaikh Jumadil Kubra, menjadi ulama yang bertugas untuk menaklukan makhluk halus tanah Jawa yang menghambat dakwah Islam di Jawa. Versi paling masyhur mengenai sosok Syaikh Subakir adalah sosok yang bertanggung jawab untuk melakukan pemasangan tumbal tanah Jawa bersama dengan 20.000 orang. Para pengikutnya itu, adalah orang-orang yang berasal dari Keling. Saat itu, Syaikh Subakir langsung menuju Gunung Tidar di Magelang. Hal  ini karena Gunung Tidar adalah punjer (pusat) tanah Jawa (Zamroji, 1987: 17).

Bersama-sama dengan Syaikh Jumadil Kubra, Syaikh Subakir mendesak para pengikut Hindu dari sekte Bairawa Tantra yang terkenal sakti. Sekte ini diyakini menjadi sekte paling kuat di Jawa. Oleh Sultan Muhammad Al-Fatih dari Turki, Syaikh Subakir dikirim untuk menghadapi sekte ini, hingga pasukan Bairawa yang terkenal sakti, lari kocar-kacir. Diusir dari Tidar, mereka berlari ke timur sampai ke Banyuwangi dan diterima oleh pimpinan Bairawa Tantra, Prabu Menak Sembuyu dan Bajul Semoro. Pengejaran di timur Jawa dilanjutkan oleh Syaikh Maulana Ishaq dan Syaikh Ibrahim As-Samarqandy. Kalah dari Syaikh Maulana Ishaq, Prabu Menak Sembuyu menyerahkan anaknya, Dewi Sekardadu yang kemudian menjadi istri dari Syaikh Maulana Ishaq. Dari pernikahan ini, lahirlah Sunan Giri, sementara dari Syaikh Ibrahim As-Samarqandy melahirkan Sunan Ampel. Setelah keduanya semakin menua, tugas “pembersihan” dilanjutkan oleh Sunan Bonang. Sosok yang disebut terakhir ini, dikisahkan tidak memiliki keturunan karena melajang hingga akhir hayatnya.