unan Amangkurat I  adalah anak dari Sultan Agung Hanyakrakusuma. Ibunya bergelar Ratu Wetan, yaitu putri Tumenggung Upasanta bupati Batang (keturunan Ki Juru Martani). Amangkurat I memiliki dua orang permaisuri, yaitu Putri Pangeran Pekik dari Surabaya menjadi Ratu Kulon yang melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi Amangkurat II; sedangkan putri keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas Drajat, kelak menjadi Paku Buwana I (Wawancara dengan Agus Soleh dan Masruri, Juru Kunci Makam Sunan Amangkurat I, 16 Juni 2019).

Sebagai penguasa pengganti ayahnya, Sultan Agung, Sunan Amangkurat I adalah penguasa yang ambisius. Ricklefs dalam Sejarah Modern Indonesia: 1200-2008 (2010: 160-166), menjelaskan bahwa sifat Sunan Amangkurat I sangat berbeda dari karakter ayahnya, Sultan Agung. Saat muda, ia telah terlibat skandal dengan istri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna yang berakhir pada tewasnya sang Tumenggung. Saat berkuasa, Sunan Amangkurat I, juga disebut oleh Rickelfs, sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap pembantaian para ulama akibat sebuah konflik politik yang memanas. Pada 1647, ia memindahkan kekuasaannya dari Kerta ke sebuah istana baru di Plered. Sifatnya yang haus darah, juga telah menyebabkan banyak tokoh-tokoh senior kerajaan mati dibunuh. Mereka yang terbukti atau dikhawatirkan akan menentangnya pun akan dihabisi. Hal ini tentu menimbulkan ketakutan dan telah memunculkan perpecahan di daerah-daerah kekuasaan Mataram, seperti Banten dan Cirebon. Tidak hanya itu, persoalan-persoalan politik juga melanda internal kerajaan. Putra mahkota, yang nanti bergelar Amangkurat II, turut terlibat dalam skandal dan kemelut ini.

Krisis yang terjadi di Mataram, telah menimbulkan protes dan pemberontakan. Salah satu pemberontakan yang paling menentukan dalam sejarah Mataram itu adalah pemberontakan Trunajaya. Raden Trunajaya adalah seorang bangsawan dari Madura yang sekaligus menjadi menantu dari Raden Kajoran, seorang yang diyakini suci dan memiliki kekuatan-kekuatan gaib. Ayah Trunajaya, dibunuh di istana pada 1656, sebuah alasan yang cukup untuk melancarkan pemberontakan. Akhirnya, koalisi antara Amangkurat II, Raden Kajoran, dan Raden Trunajaya terbentuk. Disepakati bahwa, saat Raden Trunajaya berhasil melancarkan pemberontakan, maka putra mahkota, Amangkurat II, akan naik tahta.

Pada 1675, pemberontakan benar-benar berkobar di Mataram. Sasaran Trunajaya tidak hanya Mataram, tetapi juga VOC. Baginya, selama VOC bercokol di bumi Mataram, Mataram tidak akan pernah sejahtera. Para pemberontak menyerang pelabuhan Surabaya, dan terus menguasai wilayah pantai utara bagian timur. Kemenangan demi kemenangan yang diperoleh Trunajaya telah membangkitkan kesadaran para bangsawan Jawa dan mulai tidak mengakui kekuasaaan Amangkurat I. Hal ini memunculkan kepercayaan diri bagi Trunajaya. Ia yang semula mengganti gelarnya dengan Panembahan, sekarang mengklaim diri sebagai keturunan Majapahit dan berhak atas tahta Mataram. Puncak pemberontakan tersebut adalah jatuhnya istana Plered pada Juni 1677. Raja menyerahkan istana pada putranya yang lain, Pangeran Puger. Sementara, Amangkurat I dengan putra mahkota, melarikan diri dari istana, dan bergerak ke arah barat menuju daerah pesisir utara. Istana yang sepi karena Pangeran Puger juga turut melarikan diri, dirampok habis-habisan oleh Trunajaya. Semua perjanjian yang telah dilakukan dengan VOC, hanya semakin meningkatkan tensi pemberontakan.

Keterlibatan putra mahkota, sejatinya telah dicurigai oleh istana. Namun, entah apa yang terjadi, Sunan Amangkurat I, justru memerintahkan kepada putra mahkota untuk menumpas pemberontakan Trunajaya. Sunan Amangkurat I pulalah yang menyerahkan tampuk kekuasaan Mataram para Amangkurat II. Di sela-sela pelariannya, Sunan Amangkurat I yang semakin tua, tidak kuat menahan penderitaan. Ia wafat pada 13 Juli 1677. Sang putra mahkota, Sunan Amangkurat II, memakamkannya di Tegalarum (Tegal Wangi), sesuai wasiat sang ayah. Saat pelarian, Sunan Amangkurat I, memang tidak membawa banyak barang-barang kerajaan. Namun, pusaka-pusaka kerajaan yang menandai kekuasaan sebuah dinasti, telah dimulai oleh Sunan Amangkurat II. Untuk menumpas pemberontakan, tidak ada jalan lain baginya, selain menjalin kerja sama kembali dengan VOC.