Sosok yang dikenal sebagai pahlawan emansipasi wanita ini, dilahirkan di Mayong, Jepara pada Senin Pahing, 21 April 1879. Ia adalah anak ke-4 dari 8 bersaudara dari pasangan R.M.A.A. Sosroningrat dan M.A. Ngasirah Sosronegoro (garwa ampil). Kakek R.A. Kartini adalah Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seseorang yang ia kagumi sebagai sosok yang mencoba keluar dari tradisi lama yang feodalistik. Sementara ibunya, adalah perempuan biasa, namun keturunan dari keluarga ulama terkemuka yang taat menjalankan syariat Islam (Gustami, 2000: 109-110). Oleh karena itu, jelas sudah bahwa sikap R.A. Kartini yang gandrung akan kemajuan diwarisi dari ayahnya, sedangkan kecintaan R.A. Kartini terhadap agama Islam, dibentuk oleh ibunya. Saat R.A. Kartini dilahirkan, ayahnya menjabat sebagai Wedana Mayong. Namun, pada awal 1881, saat R.A. Kartini berumur 2 tahun, R.M.A.A. Sosroningrat diangkat menjadi Bupati Jepara (Taylor, 1976: 634). Setelah itu, mereka pindah dari Mayong ke Rumah Dinas Bupati di Jepara. Gagasan kemajuan yang dimiliki oleh R.A. Kartini, pastilah diwarisi dari ayahnya. R.M.A.A. Sosroningrat adalah satu dari empat Bupati di Jawa yang memiliki kepandaian menulis dan bercakap-cakap dalam bahasa Belanda (Pane, 2021: 3).  

 

Gambar 5. Tempat kelahiran R.A Kartini di kompleks Museum Ari-Ari Kartini Mayong, Jepara (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, 2024)


 

Gambar 6. Ari-ari R.A Kartini di kompleks Museum Ari-Ari Kartini Mayong, Jepara

(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, 2024)

 

 

Gambar 7. Pendopo Kabupaten Jepara 

(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, 2024)

 

R.A. Kartini dibesarkan dalam lingkungan yang tidak asing dengan bahasa dan kebudayaan Belanda. Oleh karena itu, ayahnya mengizinkan Kartini untuk masuk ke sekolah dasar Belanda, ELS (Soebadio dan Sadli, 1990: 22). Setelah menyelesaikan Pendidikan di ELS, R.A. Kartini tidak dapat melanjutkan pendidikannya di tingkat selanjutnya. Namun, berkat bantuan dari para pejabat Belanda yang dekat dengan sang ayah, ia dan saudara-saudara perempuannya, mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pelajaran di rumah. Selain itu, intensitas komunikasi R.A. Kartini dengan sahabat-sahabat ayahnya yang orang Belanda, telah pula meningkatkan kemampuan R.A. Kartini dalam berbahasa Belanda. Salah satu di antaranya adalah Henri Hubert Van Kol dan istrinya, yang juga berusaha untuk membantu R.A. Kartini mendapatkan beasiswa di Belanda. Selain itu, istri Henri Hubert Van Kol, bernama Nellie Van Kol yang merupakan penulis novel terkenal, tampaknya telah menarik minat R.A. Kartini (Soebadio dan Sadli, 1990: 23-24).

 

Gambar 8. R.A. Kartini sewaktu kecil bersama kakak dan adik-adiknya: (atas dari kiri ke kanan: Kartini, Soelastri, Roekmini, dan Kardinah; (bawah dari kiri ke kanan: Kartinah dan Rawito) (Sumber: “Kartini als kind met broertje en zusjes,” KITLV 503182).

 

Gambar 9. R.A. Kartini bersama ayah dan ketiga saudaranya: (Dari kiri ke kanan: Soemantri, Roekmini, R.M.A.A. Sosroningrat, Kartini, dan Kartinah) (Sumber: “Kartini met haar vader en drie zussen,” KITLV 503281).

 

R.A. Kartini juga mencoba mengajukan beasiswa untuk studi ke negeri Belanda dan Batavia, namun gagal. Kegagalan itu tampaknya tidak disebabkan oleh faktor akademis, melainkan aturan adat Jawa yang feodalistik, yang memberikan batasan bagi perempuan, yaitu pingitan (Gustami, 2000: 108). Pada usia 12 tahun, ketika RA. Kartini memasuki masa pingitan, ia harus berpisah dari dunia luar dan terkurung oleh tembok kabupaten. Kondisi itu telah membuat batin R.A. Kartini sedih (Priyanto, 2017: 59).

Meski demikian, semangatnya untuk belajar tidak putus. Ia berupaya menambah pengetahuan tanpa sekolah dengan tekun membaca apa saja yang didapat dari kakaknya, R.M. Sosrokartono dan ayahnya, R.M.A.A. Sosroningrat. Ayahnya memang tidak membatasi jenis bacaan yang dipilih oleh anak-anaknya, termasuk majalah dan artikel. Hal itu menyebabkan R.A. Kartini dan saudara-saudaranya, mendapatkan akses yang cukup luas untuk melihat perkembangan budaya di luar kadipaten, termasuk perjuangan wanita India. Dari sana tampaknya muncul kesadarannya akan perjuangan wanita yang tidak hanya menjadi milik perempuan Jawa saja (Soebadio dan Sadli, 1990: 26). Kesadaran itu pula yang tampaknya mendorong ia bersama-sama dengan dua saudara perempuannya, Kardinah dan Roekmini, mendirikan Sekolah Pertama untuk gadis-gadis priyayi bumiputera yang bertempat di serambi belakang Pendopo Kabupaten Jepara. Gagasan itu juga terwujud atas bantuan dari Jacques Henrij Abendanon (Menteri Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia-Belanda), Henri Hubert Van Kol (tokoh Sosialis pertama yang menginjakkan kaki di Hindia-Belanda), dan teman-teman R.A. Kartini dari Belanda (Gustami, 2000: 108). 

 

Gambar 10. Kardinah, Kartini, dan Roekmini, kemungkinan di Semarang 

(Sumber: “Kardinah, Kartini en Roekmini, vermoedelijk te Semarang,” KITLV 15465)

 

Gambar 11. Teras belakang pendopo Kabupaten Jepara yang saat ini menjadi bagian dari Rumah Dinas Bupati Jepara (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, 2024)

 

Meskipun hidup dalam adat Jawa yang kolot, R.A. Kartini adalah sosok perempuan Jawa yang memiliki pandangan yang maju. Ia sangat produktif menuangkan gagasan dan pemikirannya dalam berbagai bidang, baik sosial, politik, ekonomi, seni, budaya, maupun agama. Pikiran-pikiran R.A. Kartini itu dikomunikasikan kepada Nyonya Abendanon, seorang perempuan Belanda yang diakui oleh R.A. Kartini sebagai ibu angkatnya, dan kepada teman-teman sejawatnya orang-orang Belanda (Gustami, 2000: 107). Salah satu pandangannya adalah ketidaksetujuannya terhadap konsep seorang perempuan hanyalah pelengkap dari laki-laki (Gustami, 2000: 110). Gagasan kemajuan RA. Kartini dapat dilacak dari kumpulan surat-suratnya yang kemudian dicetak menjadi buku berjudul “Door Duisternis Tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang) (Kartini, 2021). Selain gagasan kemajuan perempuan, dari buku itu terlihat jelas sikap R.A. Kartini dekat dengan Islam. R.A. Kartini menulis bahwa ia tidak memahami Islam, karena Alquran sebagai kitab suci menggunakan bahasa Arab, bahasa yang tidak ia kuasai. 

Pada sebuah acara pengajian di rumah Bupati Demak P.A. Adiningrat, yang juga paman R.A. Kartini,  R.A. Kartini bertemu dengan Kiai Saleh Darat. Saat itu, Kiai Saleh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini kagum dengan pengajian yang disampaikan oleh Kiai Saleh Darat, karena selama ini, ia hanya mampu mengucapkan Al-Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu. Setelah pengajian, R.A. Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kiai Saleh Darat. Ia mengutarakan pikirannya tentang pentingnya penerjemahan dan penafsiran Alquran ke dalam bahasa Jawa agar dapat dipahami dan dijadikan pedoman. Hal itu menggugah kembali kesadaran Kiai Saleh Darat untuk menyusun sebuah karya tafsir Alquran yang berjudul Faidh al-Rahman pada 1894. Tafsir ini menjadi tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah hingga surah Ibrahim. Kitab itu dihadiahkannya kepada R.A. Kartini sebagai kado pernikahannya dengan R.M.A.A. Djojoadiningrat, Bupati Rembang. Melalui kitab tersebut, mulailah R.A. Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. R.A. Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.” Melalui kitab itu pula R.A. Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya, yaitu Surat Al-Baqarah ayat 257 yang mencantumkan, bahwa Allah-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Min al-Dhulum?t ila al-N?r) (Hakim, 170-183; Anonim, 2016; Encyclopedia Nahdlatul Ulama, jilid IV, t.t.t.: 76-77). Naskah Faidh al-Rahman karya Kiai Saleh Darat yang menjadi hadiah pernikahan R.A. Kartini, saat ini menjadi salah satu koleksi Museum R.A. Kartini di Rembang. 

 

Gambar 12. Naskah Kitab Faidh al-Rahman karya Kiai Saleh Darat, hadiah pernikahan guru sekaligus penulisnya kepada R.A. Kartini. Naskah tersebut menjadi koleksi Museum R.A. Kartini di Rembang (Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, 2024)

 

R.A. Kartini juga memiliki perhatian terhadap tradisi dan budaya Jawa. Ia disebut-sebut, terlibat dalam mengembangkan kesenian batik, tenun, perhiasan, gamelan, melukis atau menggambar, kesenian wayang, dan mengukir kayu. Wayang yang menjadi sarana dakwah pada awal Islam, juga telah mengilhami R.A. Kartini dalam menciptakan ornamen produk mebel ukir (Gustami, 2000: 111-112). R.A. Kartini adalah sosok yang pertama kali menciptakan desain-desain baru seni ukiran menggunakan ornamen wayang. Dengan sokongan dari perkumpulan Oost en West, R.A. Kartini mengambil inisiatif untuk memanggil Singowiryo, seorang ahli ukir yang paling terkenal pada waktu itu dari desa belakang Gunung untuk memimpin para tukang (Gustami, 2000: 114). Melalui jaringan Oost en West pula, R.A. Kartini menghubungi para pembeli di kota-kota besar, baik Semarang maupun Batavia, sebagai upaya pemasaran produk para perajin ukir di Jepara (Gustami, 2000: 115). Di Jepara, sejarah R.A. Kartini dan kehidupannya diabadikan dalam sebuah Museum R.A. Kartini Jepara (Museum R.A. Kartini Jepara (Booklet) dan Observasi Tim Peneliti, 2024). 

 

Gambar 13. Lukisan angsa buatan Kartini, kemungkinan besar di Jepara 

(Sumber: “Schilderij met zwanen vervaardigd door Kartini, vermoedelijk te Djapara,” KITLV 12542)

 

Gambar 14. Batik Jepara, kemungkinan buatan R.A. Kartini 

(Sumber: “Batik uit Djapara, vermoedelijk vervaardigd door Kartini,” 

KITLV 12541)

 

Gambar 15. Gapura Museum R.A. Kartini di Jepara 

(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, 2024). 

 

Pada 12 November 1903, saat berusia 24 tahun, R.A. Kartini menikah dengan Bupati Rembang bernama R.M.A.A. Djojoadiningrat yang sudah dikenal sebagai Bupati yang berpandangan maju. Setelah itu, ia mengikuti suaminya pindah ke Rembang. Pada 13 September 1904, Raden Ajeng yang telah berubah menjadi Raden Ayu (R. Ay.) Kartini melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Singgih atau R.M. Soesalit Djojoadiningrat. Namun, keadaan R.A. Kartini setelah melahirkan putra pertamanya itu semakin memburuk. Ia disebutkan mengalami pendarahan hebat hingga akhirnya, pada 17 September 1904, R.A. Kartini menghembuskan nafasnya yang terakhir pada usia 25 tahun (Yuliati, 2017: 17-27). Ia dimakamkan di kompleks Makam Mantingan, Desa Bulu, Kecamatan Mantingan, Kabupaten Rembang, bersama-sama dengan suami dan keturunannya.